Follow me on mw twitter....

Minggu, 21 November 2010

Endodontic imaging as an aid to forensic personal identification

Laporan Kasus
GAMBARAN ENDODONTIK SEBAGAI ALAT BANTU UNTUK
IDENTIFIKASI FORENSIK PERORANGAN
(Endodontic imaging as an aid to forensic personal identification)

Abstrak
Identifikasi dengan cara membandingkan gigi dari catatan orang yang dilaporkan hilang dengan gigi geligi dari orang yang ditemukan meninggal, bergantung pada pengenalan dari kesesuaian gambaran umumnya,dimana tidak terdapat diskrepansi antara keduanya yang tidak dapat dijelaskan. Walaupun pencatatan dental record secara umum dilakukan untuk tujuan diatas, namun penulis meyakini bahwa cara tersebut tidak bisa dijadikan dasar utama dalam proses identifikasi hal ini dikarenakan hasilnya tidak langsung diperoleh dari individu yang bersangkutan, dan berpotensi terjadi kesalahan, ketidakakuratan dan kesalahan interpretasi. Bagaimanapun suatu gambar merupakan pencitraan langsung dari benda fisik dan merupakan metode obyektif dalam proses pencatatan informasi. Radiografi merupakan gambar yang dapat memperlihatkan gambaran morfologi gigi yang unik, jaringan disekitar gigi serta detail fisik dari perawatan gigi sebelumnya yang menyebabkan terjadinya perubahan dari gigi geligi. Pengambilan radiografi post-mortem sebagai duplikat, hasilnya sangat mendekati dari hasil radiografi yang dilakukan saat ante-mortem, metode perbandingan yang dilakukan dengan teliti, dapat meningkatkan hasil dari nilai probativnya.Dalam konteks ini radiografi endodontik post-treatment memperlihatkan banyak sumber fakta yang dapat diperoleh dari tiap individu, khususnya karena hasil dari perawatan restorasi endodontik sangat kecil frekuensi terjadinya perubahan apabila dibandingkan dengan kasus pada restorasi intra-coronal. Penulis mengilustrasikan macam-macam teknik dengan beberapa serial kasus dan menbahas mengenai parameter keberhasilannya.

Pendahuluan
Pada pemeriksaan korona, proses identifikasi orang yang meninggal memiliki peran yang sangat penting hal ini disebabkan karena sertifikat kematian dan dokumen lainnya tidak dapat dikeluarkan sampai pihak koroner merasa puas akan hasil dari identifikasi identitas orang tersebut. Seringnya proses identifikasi ini tidak menimbulkan kontroversi dan identifikasi visual, umumnya dilakukan oleh keluarga, teman maupun kolega dari orang yang meninggal. Bagaimanapun, terdapat situasi dimana cara tersebut dalam beberapa kasus tidak disarankan dan tidak mungkin untuk dilakukan, disebabkan karena adanya luka traumatik, insinerasi,dekomposisi atau karena faktor lainnya.
Pada beberapa kasus, pemeriksaan lebih lanjut kemungkinan dibutuhkan sebagai pembanding antara orang yang meninggal dengan catatan yang diperoleh dari orang yang hilang. Berdasar atas keadaan tersebut, adanya DNA, sidik jari serta catatan odontologi forensik dapat menjadi pilihan yang secara umum dapat diterima tanpa harus dilakukan kualifikasi lebih lanjut lagi apabila dasar perbandingannya jelas dan tidak ada keraguan didalamnya. Tiga kelompok ini bagaimanapun secara kolektif dikenal sebagai “Major identifiers”.
Dalam konteks ini, tugas dari odontologis forensik adalah untuk membandingkan antara dental record dari suspek atau orang yang dilaporkan hilang dengan gambaran dari gigi geligi dan struktur mulut dari orang yang telah meninggal untuk menentukan tingkat korespondensi dan untuk memberikan pendapat ahli berdasarkan pada temuan dari pihak yang melakukan identifikasi yang bertanggungjawab menentukan hasil akhir dari proses identifikasi tersebut. Di Australia, disebut sebagai koroner.
Penulisan dental record terdiri dari dokumen yang berisi penyampaian dengan menggunakan bahasa penulis dan sering disertai dengan odontogram, gambaran mengenai keadaan pasien sebelum dilakukan pemeriksaan gigi, dan detail dari prosedur perawatan gigi yang dilakukan pada pasien. Orang yang menuliskannya kemungkinan orang yang sama. Data tersebut bisa saja ditulis oleh orang yang berbeda, bukan oleh operatornya sendiri, sebagai contoh dilakukan oleh asisten gigi, dengan alasan untuk kontrol infeksi. Keadaan ini bagaimanapun dapat menyebabkan kesalahan dalam catatan, ingatan dan interpretasi, dan yang paling parah dapat terjadi adalah si pencatat menuliskan apa yang dia pikir dia dengar adalah ucapan dari orang yang dia perkirakan telah melihat atau melakukan tindakan tersebut.
Oleh karena kemungkinan terjadinya kesalahan dan tidak adanya sumber obyektif yang dapat digunakan sebagai pembanding untuk membandingkan apa yang telah dicatat, maka kemungkinan tidak terdeteksinya kesalahan tersebut bisa saja terjadi. Dalam konteks forensik, beberapa kesalahan dapat memicu kegagalan dari kebenaran identifikasi seseorang kecuali apabila ahli forensik menyadari akan keadaan ini dan memberikan pendapat konservatif yang tepat. Pada beberapa kasus, bahkan ketika tidak terdapat kesalahan, detail yang tidak memadai dicatat dalam dokumen sehingga bisa dijadikan alasan untuk dilakukannya identifikasi seseorang berdasarkan pada informasi tunggal.
Radiografi, bagaimanapun merupakan suatu gambaran yang menampilkan detail dari gambaran fisik yang dimasukkan dalam catatan. Dalam konteks forensik, dibuat catatan obyektif dari seseorang yang diperoleh secara langsung dari orang tersebut, sedangkan data yang diperoleh dari orang lain tidak dicatat, karena yang dicatat adalah detail morfologi dari semua yang telah dilihat dilapangan sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan tidak terjadi pada saat penulisan dokumen. Yang paling penting adalah bahwa dari radiografi ini dapat diperoleh duplikat yang akurat dari pasien yang sama, walaupun pengambilan gambarnya dilakukan oleh operator dan waktu yang berbeda. Gambaran radiografi bagaimanapun merupakan alat bantu yang sangat berguna dalam proses perbandingan untuk identifikasi forensik perorangan.
Untuk lebih jelasnya, semakin banyak detail dan catatan morfologi khusus yang terdapat pada gambar, maka dasar perbandingan dengan mengunakan radiografi yang mirip dengan yang diperoleh dari orang yang tidak dikenal akan semakin baik untuk menetapkan bahwa kedua gambar tersebut berasal dari orang yang sama. Perawatan gigi diindikasikan dapat meninggalkan bukti radiografi dengan detail morfologi yang unik, dan memiliki nilai probatif yang tinggi dalam suatu proses perbandingan. Dalam konteks ini, radiografi pada perawatan endodontik merupakan sumber yang sangat baik untuk menggambarkan ciri seseorang berdasarkan atas detail morfologi khususnya.

Materi dan Metode
Oleh karena ekspresi dari gambaran morfologi individual yang sangat langka dan unik tersebut, maka perawatan saluran akar menjadi sumber penting yang dapat digunakan untuk membedakan gigi geligi dan pemanfaatan lebih luasnya dapat memperlihatkan kemiripan dengan tingkat yang tinggi dalam proses identifikasi dengan melakukan perbandingan gambar. Lagi pula, pada prosedur saluran akar sering dilakukan pengambilan gambar radiografi, baik selama perawatan, selesai perawatan dan secara periodik mengikuti prosedur perawatan untuk mendapatkan catatan dari hasil perawatan tersebut. Radiografi post-treatmen umumnya dapat dimasukkan sebagai bagian dalam dental record pasien, dan secara obyektif memperlihatkan detail morfologi spesifik dari restorasi tersebut dan jaringan sekitar gigi serta sruktur jaringan pendukung yang nampak radiopak.
Tujuan dari proses pembandingan ini adalah untuk menetapkan apakah radiografi tersebut berasal dari orang yang sama (identifikasi) atau dari orang yang berbeda (ekslusi) .
Keberhasilan dari teknik ini bergantung pada tingkat kemiripan dari parameter yang diambil berdasarkan atas perbandingan antara dua gambar (ante-mortem dan post-mortem). Pemeriksaan radiografi ante-mortem memberikan informasi mengenai posisi dari film/sensor, posisi tube, pencahayaan gambar dan kemunginan pembesaran atau distorsi dari gambar yang diambil. Keseluruhan dari parameter tersebut diperlukan untuk mereproduksi seakurat mungkin radiorafi post-mortem yang ditujukan untuk dilakukannya perbandingan langsung dari gambar tersebut. Kasus 1 mengilustrasikan akibat dari tidak diduplikasikannya posisi tube X-ray dan sensor secara benar pada kasus post-mortem.
Untuk mendapatkan tingkat akurasi dalam reproduksi gambar umumnya dibutuhkan pengambilan beberapa gambar post-mortem untuk mendapatkan gambar asli yang memuaskan. Pemeriksaan awal pada radiografi pertama selalu diikuti dengan perkiraan mengenai morfologi perawatan akar, penambalan dan morfologi gigi yang cukup mirip sehingga eksklusi dapat ditentukan pada tahap ini. Jika tidak di lakukan eksklusi, maka pengambilan radiografi selanjtnya dapat dilakukan sampai diperoleh suatu perbandingan gambar dengan hasil yang memuaskan.
Kesulitan dalam memperoleh hasil radiografi post-mortem yang sempurna seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengabaikan hasil gambar tersebut. Adanya trauma dapat menyebabkan perubahan mendasar dari bentuk tubuh dan posisi, dan ini menyebabkan penempatan tube X-ray atau sensor radiografi sangat sulit untuk dilakukan. Orang yang terbakar umumnya mengalami kontraksi otot yang parah sehingga menyebabkan tertekuknya anggota badan dengan posisi ketegangan yang parah. Anggota tubuh tersebut cenderung menyebabkan terbatasnya akses untuk penempatan tube X-ray. Lebih lanjut, gigi dan rahang yang terbakar menjadi sangat rapuh, dan usaha-usaha unuk memotong rahang atau gigi dapat menyebabkan hilangnya struktur pendukung gigi, sehingga menjadi pertimbangan dalam hasil identifikasi. Salah satu penulis (AFS) menemukan bahwa penggunaan alat hand-held X-ray dapat membuat proses ini menjadi lebih sederhana dan hasilnya kemungkinan secara signifikan menjadi berkualitas. Beberapa perangkat alat sekarang sudah umum digunakan oleh odontologi forensik di kamar mayat Australia dan pada skenario bencana massal.
Kesulitan selanjutnya adalah apabila terjadi kesalahan besar dalam teknik reproduksi radiografi post-mortem sehingga berpengaruh pada hasil radiografi pasien. Keadaan ini memberikan tantangan yang besar dan membutuhkan pengetahuan yang baik tentang radiografi sehingga dapat mengetahui dimana letak kesalahannya dan dapat membuat ulang gambar radiografi tersebut. Tujuannya bukanlah untuk mendapatkan radiografi yang sempurna dari orang meninggal tapi sebagai simulasi yang dimasukkan dalam catatan pasien.
Ketika hasil dari perbandingan antara gambar ante-mortem dan post-mortem telah dicapai, maka hasil tersebut dapat dijadikan pembanding dalam memperkirakan kemungkinan bahwa catatan dari gambar tersebut berasal dari orang yang sama, sehingga dapat dibuat dasar obyekit untuk pendapat ahli yang nantinya akan diserahkan pada koroner.
Proses perbandingan kemungkinan terdiri dari perbandingan visual (kasus 1dan 2) atau radiografi yang memperlihatkan kemiripan dengan cara superimposisi (kasus 3). Idealnya, proses subtraksi gambar digunakan untuk memperlihatkan susunan antara kedua gambar (kasus 4) apabila radiograf ante-mortem dan post-mortem memperlihatkan tingkat kemiripan yang dibutuhkan. Pada semua kasus, tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mendemonstrasikan dasar obyektif dari suatu opini, sehingga diperoleh kepuasan dari aturan dasar mengenai barang bukti untuk mendukung proses hukum.

Hasil
Terdapat empat kasus yang dipilih dari catatan Odontologi Forensik yang merupakan bagian dari Queensland Health Forensic and Scientific Services (QHFSS), yang menggunakan perbandingan restorasi endodontik sebagai bagian dari proses identifikasi. Dimana ditampilkan gambar yang tidak teridentifikasi dan yang teridentifikasi ,yang nampak pada kasus 1-4 dibawah ini :

Kasus 1 (Gambar 1)
Radiografi dari orang yang hilang nampak pada sebelah kiri sedangkan radiografi dari orang yang meninggal berada pada sebelah kanan. Laporan singkat catatan tangan dan gambaran radiografi gigi diperoleh dari catatan orang hilang. Pemeriksaan radiografi ini dilakukan berdasarkan pada perawatan saluran akar gigi incisivus lateral kiri atas. Koresponden dari radiografi post-mortem memperlihatkan adanya kemiripan morfologi antara bentuk umum dari kedua gambar tersebut.



(a). Radiografi periapikal pada orang hilang. (b). Korespondensi radiografi periapikal dari orang yang meninggal

Sementara itu adanya kemiripan dari kedua barang bukti tersebut dapat menjadi pendukung dari pendapat yang menyatakan bahwa kedua gambar tersebut diperoleh dari orang yang sama, perbedaan dari posisi tube dan sensor radiografik pada saat pengambilan gambar dari kedua radiografi tersebut tidak menjadi masalah untuk dilakukan perbandingan langsung dengan cara superimposisi.

Kasus 2 (Gambar 2)



Radiografi dari orang yang hilang nampak pada sebelah kiri, sedangkan radiografi dari orang yang meninggal pada sebelah kanan. Insiden traumatik yang dialami menyebabkan terjadinya kematian, orang yang meninggal tersebut menderita fraktur maksila dan mandibula yang parah, dirasa bahwa manipulasi rahang yang dilakukan dapat menyebabkan kerusakan gigi lebih lanjut. Dari dental record yang diperoleh berisi beberapa gambaran radiografi termasuk salah satunya yang ditampilkan dibawah ini (sebelah kiri). Radiografi koresponden dari orang yang meninggal diambil tanpa menggangu posisi gigi atau rahang dan perbandingan kedua gambar tersebu dapat dilihat dibawah ini.

Gambar 2 (kasus 2) – (a) Radiografi periapikal dari orang hilang (b) koresponden radiografi periapikal dari orang yang meninggal

Akses post-mortem pada orang yang meninggal ini dilakukan dengan hati-hati untuk menjaga barang bukti dan oleh karena itu posisi tube dan sensor film yang digunakan untuk mendapatkan gambar radiografi dari pasien tidak dapat mereproduksi dengan sempurna, yang hasilnya memperlihatkan tampilan restorasi yang berbeda antara kedua gambar sehingga dibutuhkan interpretasi yang sangat hati-hati sebelum diambil keputusan. Dalam kasus ini, perbandingan visual dari konstelansi gambaran individual pada dua gambar radiografi yang meliputi gambaran restorasi endodontik, radicular dan anatomi tulang serta restorasi mahkota gigi, dirasa cukup untuk memastikan bahwa data tersebut memang diperoleh langsung dari orang yang sama, namun tidak dapat diperlihatkan ketelitiannya, hal ini dapat mengingatkan kembali mengenai dasar opini identifikasi berdasarkan kehati-hatian interpretasi dan kemungkinan dapat ditolaknya hasil identifikasi tersebut dalam pengadilan. Untungnya, radiografi ante-mortem lainnya dari kuadran gigi yang berbeda dapat diterima dan dapat mengkorfimasi ketelitian dari pendapat tersebut (gambar tidak ditampilkan).
Dalam kasus ini diilustrasikan secara jelas mengenai sulitnya untuk melakukan perbandingan gambar radiografi yang diambil dengan posisi penempatan tube X-ray dan sensor radiografi yang berbeda, sehingga menyebabkan terdapat perbedaan hasil radiografi. Disini digaris bawahkan bahwa untuk membuat suatu duplikat sangatlah penting untuk dapat menempatkan posisi tube X-ray dan sensor radiografi sedekat mungkin menyamai parameter posisi antara gambar ante-mortem dan post-mortem sebelum dilakukan proses perbandingan. Ketika satu gambar radiografi diperbandingkan dengan objek yang sama namun diambil dalam kondisi yang berbeda, akan semakin nampak terlihat bahwa suatu benda yang sama terlihat berbeda dari gambar yang lainnya.
Telah digarisbawahkan pula bahwa kemungkinan terjadinya kesalahan akan semakin tinggi apabila melakukan perbandingan radiografi post-mortem dengan catatan pasien, kemungkinan akan lebih kecil apabila diperbandingkan dengan radiografi ante-mortem, walaupun cara tersebut sering digunakan apabila radiografi ante-mortem tidak layak untuk digunakan. Pada kasus tipe ini, penulis lebih mengindikasikan melakukan perbandingan yang konsisten dengan catatan ante-mortem yang berasal dari orang yang sama (identitas yang konsisten) dibandingkan dengan dari rekomendasi yang dilakukan oleh orang lain yang berasal dari orang yang sama (identitas yang dibuat).
Keberhasilan parameter duplikasi dari radiografi ante-mortem dan post-mortem diizinkan untuk digunakan dalam melakukan teknik perbandingan yang teliti diilustrasikan pada kasus 3 dan 4.

Kasus 3 (Gambar 3 dan 4)
Orang yang telah meninggal secara bertahap mengalami proses pembusukan sehingga tidak dapat diidentifikasi secara visual. Catatan dental record orang yang hilang diperoleh dari polisi dan perbandingan catatan ini dengan gambaran gigi dari orang yang meninggal memperlihatkan konsistensi yang lengkap. Radiografi periapikal (gambar 3a) juga diperoleh dari catatan dental record dan dari gambar tersebut terlihat adanya perawatan saluran akar yang komplit pada gigi 16. Radiografi koresponden dari orang yang meninggal (gambar 3b) memperlihatkan adanya perawatan saluran akar pada gigi 16, dimana memperlihatkan bahwa kedua gambar tersebut berasal dari orang yang sama, berdasarkan konfirmasi obyektif dari identitas. Kemiripan dari gambaran tersebut dapat diperlihatkan secara berurutan dengan melakukan superimposisi gambar, yang memperlihatkan tingkat ketepatan dari barang bukti berdasarkan pendapat ahli yang dikeluarkan oleh korona.



Gambar 3 (kasus 3)- (a) radiografi periapikal dari orang hilang (b) korespondensi radiografi periapikal dari orang yang meninggal



Gambar 4 (kasus 3 superimposisi) – (a) opaksitas 100%. (b) opaksitas 80&. (c) opaksitas 60%. (d) opaksitas 40%. (e) opaksitas 20%. (f) opaksitas 0%. Superimposisipada radiografi orang yang meninggal diletakkan diatas radiografi orang hilang. Opaksitas dari radiografo post-mortem secara cepat menurun, memperlihatkan hubungan yang dekat antara kedua gambaran tersebut termasuk restorasi endodontiknya.

Kasus 4 (Gambar 5)
Pada perbandingan gambar yang disubtraksi, radiografi ante-mortem dan post-mortem dilakukan teknik superimposisi. Dua lapisan teratas dari gambar tersebut diubah kedalam bentuk negatif film dan kemudian opaksitas dari gambar dikurangi sampai gambaran umum dari kedua gambar tersebut terlihat. Dalam proses ini hasilnya memperlihatkan gambar netral berwarna abu-abu yang sempurna. Pada situasi sebenarnya, bagaimanapun, sangat langka untuk mendapatkan koresponden yang sempurna antara dua gambar yang diambil pada waktu yang berbeda dalam keadaan yang berbeda serta menggunakan alat yang berbeda, namun tetap dapat dilakukan dengan cara menghilangkan gambaran umum yang dapat menggangu hasil dari tingkat kemiripan antara keduanya. Seperti pada keadaan yang diperlihatkan dalam gambar 5, yang mengindikasikan bahwa radografi ante-mortem dan post-mortem tersebut diperoleh dari orang yang sama.



Gambar 5 (kasus 4) – (a) Radiografi ante-mortem (b) Radiografi post-mortem (c) Gambar yang disubtraksi

Pembahasan
Berdasarkan atas proses intevistigasi polisi yang sering dilakukan untuk identifikasi forensik, sebagian dari orang yang dilaporkan menghilang identitasnya akan dimasukkan kedalam kandidat orang yang ditemukan meninggal. Odontologi forensik kemudian bertugas untuk membandingkan beberapa dental record dari orang hilang dengan gambaran gigi dari orang yang meninggal untuk mengetahui apakah keduanya berasal dari orang yang sama.
Jadi gambaran gigi dari orang yang meninggal tidak harus diperbandingkan dengan semua orang yang ada dibumi ini, hanya perlu dilakukan perbandingan satu banding satu dan kemungkinan hasil yang dperoleh adalah sebagai berikut :
1. Kepastian identitas : seluruh gambaran gigi dari kedua catatan memperlihatkan susunan yang komplit dengan tidak adanya diskrepansi yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan atas obyektivitas seperti perbandingan gambar. Dengan begitu identitas dapat dipastikan tanpa adanya gangguan yang berarti.
2. Konsistensi identitas : seluruh dental record memprlihatkan susunan dengan tidak adanya diskrepansi yang tidak dapat dijelaskan, namun jumlah gambar tidak cukup untuk mendapatkan nilai probativ yang cukup untuk dilakukannya perbandingan dengan kemungkinan gangguan yang dapat terjadi pada identitas. Di Queensland, penulis juga menggunakan kategori ini apabila hanya terdapat catatan yang layak tanpa adanya beberapa gambar atau gambar yang dapat mendukung nilai probativ yang dapat meningkatkan kasus ke tingkat pertama berdasarkan kurangnya data.
3. Kemungkinan identitas : proses identifikasi tidak dapat dieksklusi dari informasi dasar, namun dapat dilakukan pada temuan yang tidak cukup kuat. Nilai dari suatu temuan adalah apabila temuan tersebut tidak menutupi pilihan untuk dilakukannya pencatatan dental record lanjutan oleh bagian investigasi polisi atau apabila terdapat metode identifikasi lain yang dilakukan dengan cara yang sama sehingga dapat dieksklusi.
4. Kurangnya informasi : kurangnya informasi yang digunakan sebagai dasar opini. Sekali lagi, keadaan ini tidak menjadi penghalang dalam pemanfaatan dental record atau penggunaan penggunaan metode identifikasi yang berbeda; dan
5. Eksklusi : dua set dental record yang sudah jelas berasal dari orang yang berbeda. Tidak dilakukan investigasi lanjutan kedalam orang yang hilang karena proses ini memerlukan suatu metode perbandingan dengan orang yang meninggal, dan keadaan ini secara jelas memperlihatkan perlunya investigasi lebih lanjut untuk mengetahui identitas orang tersebut.
Di Queensland, penulis tidak akan mengindikasikan identitas yang diperoleh tanpa dilakukannya perbandingan gambar, kecuali terdapat barang bukti yang tidak biasa yang dapat memperkuat opini yang diberikan dimana secara umum kebanyakan dari penulisan dental record tidak dapat menghasilkan data yang dibutuhkan untuk meningkatkan tingkat ketelitian yang dibutuhkan untuk menjamin kereabilitasan dari hasil yang diperoleh.
Pada kasus yang ideal, radiografi post-mortem diambil dengan cara yang sama seperti yang dilakukan pada gambar ante-mortem sehingga gambar yang diperoleh merupakan duplikat yang mendekati gambar ante-mortem. Pada beberapa keadaan, kemiripan antara dua gambaran tersebut dapat diperlihatkan dengan cara superimposisi dan pada kasus yang baik digital subtraksi umumnya digunakan pada kedua gambar tersebut.
Sementara itu beberapa perbandingan memberikan hasil yang baik,dimana perawatan saluran akar dimasukkan sebagai tambahan dimensi dalam proses perseorangan. Anatomi ruang pulpa gigi seseorang dapat dipaparkan dengan cara melihat morfologi ruang pulpa pada mahkota gigi, jumlah dan lokasi saluran akarnya, serta panjang saluran akar dan morfologinya. Jumlah saluan akar pada sistem saluran akar tidak selalu konsisten; dimana akar mesiobukal pada gigi molar rahang atas selalu memilki saluran akar kedua, incisivus centralis rahang bawah biasanya memiliki dua saluran akar, premolar rahang bawah kemungkinan memiliki beberapa saluran akar seperti yang mungkin terjadi pada molar rahang bawah dan banyak variasi yang terdapat pada morfologi saluran akar dari premolar rahang atas. Selain itu variasi dari saluran akar yang meliputi panjang, kurvatura dan konfigurasi saluran akar lainnya seperti saluran C-shaped, memberikan banyak gambaran yang berbeda dari sistem saluran akar dimana berbeda-beda pada setiap orang. Perawatan endodontik gigi memiliki potensi yang besar dalam memberikan informasi perorangan dibandingkan pada perawatan gigi non-endodontik, dan hasilnya dapat memberikan banyak sumber data dalam perbandingan gambar.
Pengisian saluran akar dasar terdiri dari semen sealer dan bahan isi, yang umumnya menggunakan gutta-percha. Bahan isi lainnya adalah silver point dan bahan isi berbasis resin. Zinc-oxide eugenol, resin, glass ionomer, silicone dan calcium hydroxide merupakan kelompok klasifikasi dari sealer endodontik. Obturasi saluran akar, dan post-preparation anatomi, akan memperlihatkan gambaran radiopak dari bahan tersebut pada radiografi post-treatment.
Gigi yang membutuhkan perawatan endodontik biasanya juga memiliki kehilangan struktur mahkota gigi sehingga juga membutuhkan dilakukannya restorasi yang kompleks. Seharusnya gigi yang mengalami kehilangan struktur mahkota berhubungan dengan kondisi patologi dan perawatan endodontik, sehingga umumnya gigi posterior diindikasikan untuk dilakukan perawatan restorasi mahkota. Post endodontik diindikasikan pada beberapa keadaan. Restorasi post ini kemungkinan dapat bersifat aktif atau pasif, taper atau pararel, dan prefabricated atau custom cast. Logam nickel-chromium, stainless steel, titanium, kceramic, zirconium dan carbon fiber merupakan bahan yang umum digunakan pada post buatan pabrik. Kompleksitas dari restorasi mahkota dan variasi dari bahan post dan core, desain dan penempatannya dapat menjadi gambaran khusus dari seseorang berdasarkan pada perawatan giginya.
Prosedur endodontik memerlukan radiografi dalam prosesnya baik pada saat diagnosi, perawatan ataupun pada saat evaluasi keberhasilan dari perawatan. Dari kesemuanya yang paling berguna untuk tujuan forensik adalah radiografi post-treatment dan restorasi endodontik lebih memiliki nilai lebih dibandingkan dengan restorasi intracoronal oleh karena sifat dari restorasi endodontik ini yang cenderung tidak perlu dilakukan perawatan ulang atau terjadinya augmentasi. Teknik radiografi yang baik dapat menghasilkan radiograf yang menggambarkan secara individual saluran akar dan mengurangi superimposisi dari struktur anatomi sehingga dapat menghasilkan gambar yang dapat dijadikan bahan evaluasi maupun bahan perbandingan radiograf saluran akar post-mortem.
Mendapatkan suatu reproduksi post-mortem yang baik untuk memberikan gambaran radiografi yang dibutuhkan dalam menguatkan suatu kasus sehingga dapat mengekspresikan opini mengenai identitas berdasarkan konstelasi dari gambaran yang unik, dimana dapat dicapai dengan mengambil lebih dari satu kuadran dari orang yang sama. Bagaimanapun, perbandingan gambar anatomi gigi dengan keberadaan restoasi giginya atau barang bukti dari perawatan gigi lebih kompleks dibandingkan dengan barang bukti lainnya. Gambaran individual dari perawatan yang tidak umum dan kompleks seperti pada restorasi endodontik dibutuhkan untuk mendapatkan dasar perbandingan yang sempurna.
Penulis bagaimanapun mengharapkan adanya hasil radiografi post-teatment yang sempurna sehingga dapat diperbandingkan dengan radiografi post-mortem dan hasil perbandingan itu dapat meningkatkan dasar barang bukti yang dapat digunakan untuk opini ahli.
Penulis sekarang secara rutin menggunakan alat CT-scan pada post-mortem yang dilakukan di QHFFS. Dengan peningkatan penetrasi dari teknologi cone-beam oleh spesialis dan dokter gigi umum, tinggal menunggu waktu sebelum akhirnya dapat mulai dilakukannya perbandingan gambar tiga dimensi, yang selanjutnya akan dapat meningkatkan hasil yang dibutuhkan.

Simpulan
Penulis menyimpulkan bahwa perawatan saluran akar memberikan banyak detail morfologi, sehingga dapat memberikan data yang banyak untuk perbandingan radiografi dari orang yang dikenal yang dilaporkan hilang dengan orang yang tidak dikenal yang ditemukan meninggal, untuk menjawab pertanyaan apakah dua gambar tersebut berasal dari orang yang sama. Jawaban positif dari pertanyaan tersebut membutuhkan proses identifikasi obyektif dari orang tak dikenal yang meninggal yang merupakan orang yang sama yang dilaporkan hilang dan kemungkinan diperlukan adanya penambahan substansi lain seperti yang terdapat pada kasus 1, dimana pada kasus tersebut sangat sedikit data yang tersedia.

Selasa, 29 Juni 2010

Effect of periodontal treatment on metabolic control, systemic inflammation and cytokines in patients with type 2 diabetes

Pengaruh perawatan periodontal terhadap kontrol metabolik, inflamasi sistemik dan sitokin pada pasien diabetes tipe 2

Abstrak
Tujuan: Tujuan studi ini adalah untuk menyelidiki pengaruh terapi periodontal pada sirkulasi konsentrasi kapsul-protein reaktif sensitivitas tinggi (hs-CRP), fibrinogen (FIB), interleukin (IL)-4, IL-6, IL8, IL-10 dan nekrosis tumor faktor-α (TNF-α) dan kontrol metabolik pada pasien diabetes melitus tipe 2 (T2DM).
Materi dan Metode: Dua puluh tiga pasien T2DM dengan periodontitis kronis dimasukkan dalam studi ini. Parameter klinis periodontal dievaluasi, disebut indeks plak yang terlihat, indeks peradarahan gingiva, berdarah saat probing, kedalaman probing dan tingkat perlekatan klinis. Contoh darah untuk plasma dikumpulkan dan dinilai untuk tingkat hs-CRP, FIB, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10 dan TNF-α. Hemoglobin terglikosilasi (HbAlc) dan glukosa plasma puasa juga diukur. Parameter dievaluasi sebelum dan 3 bulan setelah terapi periodontal tanpa operasi.
Hasil : Seluruh parameter klinik secara signifikan meningkat 3 bulan setelah terapi periodontal. Perbandingan satu variabel menunjukkan kecenderungan terhadap menurunnya ukuran biomarker/tanda-tanda biologis, biasanya dinyatakan untuk TNF-α dan FIB, setelah terapi.
Kesimpulan : Suksesnya terapi periodontal tanpa operasi secara klinis ditujukan untuk mengurangi inflamasi sistemik dan konsentrasi beberapa sitokin sirkulasi.


Periodontitis adalah gangguan inflamasi yang ditandai dengan destruksi jaringan periodontal dengan kehilangan perlekatan yang berlanjut (Albandar dkk. 1999). Destruksi periodontal dimediasi-host oleh diproduksinya sitokin pro-inflamasi secara lokal sebagai respon terhadap flora bakterial dan produknya (Van Dyke & Serhan 2003). Bisa jadi bahwa produksi sitokin lokal (Prabhu dkk. 1996, Gorska dkk. 2003) dan/atau bakterimia/endotoxaemia asimtomatik tingkat-rendah (AAP 1998) mempengaruhi konsentrasi plasma biomarker pro-inflamasi. Perbedaan signifikan pada konsentrasi plasma seperti biomarker telah dijelaskan sebelumnya (Fredriksson dkk.1999, Loos dkk. 2000, Noack dkk. 2001, Buhlin dkk. 2003, Pitiphat dkk. 2008).
Periodontitis bahkan bisa memberi dampak yang lebih besar pada kondisi inflamasi sistemik individu dengan diabetes. Meningkatkan level sirkulasi interleukin (IL)-6, nekrosis tumor faktor-α (TNF-α) dan kapsul-protein reaktif sensitivitas-tinggi (hs-CRP), yang dapat memperburuk resistensi insulin sehingga merusak kontrol glikemik, telah dijelaskan di beberapa studi (Taylor dkk. 1996, Amar & Han 2003). Sehingga, penyakit periodontal dapat memberi dampak signifikan pada keadaan metabolik pada diabetes (Mealey & Oates 2006).
Pertanyaan apakah penyakit periodontal memperparah kondisi inflamasi dihubungkan dengan diabetes belum terjawab. Pada individu dengan diabetes, percobaan intervensi klinis menunjukkan reduksi signifikan pada level protein fase akut, misalnya CRP (Lalla dkk.2007) dan fibrinogen (FIB) (Christgau dkk, 1998), mengikuti terapi periodontal. TNF-α, merupakan sirokin pro-inflamasi, telah dikaitkan dengan resistensi insulin (Ling dkk. 1994, Mishima dkk 2001, King 2008) dan diabetes tipe 2 (Fernandez-Real & Ricart 2003). Studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa perawatan periodontal dihubungkan dengan pemberian lokal antibiotik (Iwamoto dkk 2001, Iwamoto dkk 2003, Nishimura dkk 2003) menurunkan sirkulasi/perputaran TNF-α pada subyek dengan diabetes melitus tipe 2 (T2DM) dengan reduksi konsentrasi insulin dan tingkat hemoglobin terglikosilasi secara bertahap. Di lain pihak, beberapa studi (Al-Mubarak dkk 2002, Talbert dkk 2006, Lalla dkk 2007, O’Connell dkk 2008) melaporkan bahwa sirkulasi TNF-α tidak menurun mengikuti perawatan periodontal pada subyek dengan diabetes.
Karena penemuan dalam literatur yang kontradiksi, kami ingi mengkonfirmasi hipotesis bahwa terapi periodontal tanpa-operasi dapat mempengaruhi level sitokin sistemik pro- dan anti inflamasi (IL-6, IL-8 dan TNF-α, IL-4 dan IL-10), dan level protein fase-akut (hs-CRP dan FIB) pada pasien T2DN. Selain itu, tujuan lain adalah untuk mengevaluasi pengaruh terapi periodontal tanpa-operasi pada kontrol metabolik diabetes.

Material dan Metode
Populasi sampel dan desain eksperimental
Pasien direkrut dari Klinik Periodontitis untuk Pasien Diabetes Pada Departemen Diagnosis dan Operasi, Sekolah Kedokteran gigi Araraquara, Universitas Negeri Sao Paulo (UNESP), Brazil, antara Januari 2005 dan Oktober 2006. Studi ini dilakukan dengan sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang dapat digunakan, termasuk Deklarasi Helsinki Asosiasi Kedokteran dunia, dan secara independen ditinjau dan disetujui oleh Komite Etika pada Penelitian Manusia, Sekolah Kedokteran Gigi Araraquara *UNESP, Araraquara, Brazil; Nomor protokol 60/04) dan Rumah Sakit Huddinge (Karolinska Institutet, Huddunge, Sweden; Nomor protokol 2007/384-31/2). Seluruh sukarelawan diinformasikan mengenai tujuan dan metode studi ini, dan memberikan izin tertulis mereka untuk berpartisipasi.
Sebagai kriteria inklusi, seluruh subyek yang berpartisipasi dalam studi ini harus memiliki diabetes tipe 2 dan periodontitis kronis (AAP 1999), mempunyai minimal 15 gigi asli dan mem[unyai minimal empat gigi dengan satu asisi atau lebih yang kedalaman probingnya (PD)> 5 mm, level perlekatan klinis (CAL)> 4 mm, dan perdarahan saat probing (BOP). Kriteria ekslusi yang dipertimbangkan adalah sebagai berikut : riwayat terapi antibiotik dalam 6 bulan sebelum dan obat anti-inflamasi dalam 3 bulan sebelum, kehamilan atau menggunakan kontrasepsi atau bentuk hormon lainnya, perokok atau sebelumnya perokok < 5 tahun dan perawatan periodontal dalam 12 bulan sebelumnya.
Ukuran sampel dikalkulasi berdasarkan informasi sebelumnya dari studi pilot yang baru-baru ini dilakukan oleh kelompok penelitiaan kami, menggunakan relatif data terhadap perbedaan mean dan standar deviasi (SD) antara periode eksperimental (basis dan 3 bulan setelah perawatan periodontal) untuk parameter imunologi dan klinis pada pasien diabetes tipe 2 (data tidak dipublikasikan). Di estimasi bahwa dengan minimal 13 pasien diabetes tipe 2, perbedaan signifikan pada parameter klinik, perputaran TNF-α, hs-CRP dan FIB dapat dideteksi antara periode studi (basis dan 3 bulan setelah terapi periodontal tanpa-operasi), dengan 90% tenaga statistik dan 95% interval kepercayaan.
Sampel terdiri dari 23 subyek T2DM (ADA 2008). Semua pasien menggunakan agen hipoglikemik oral dan/atau insulin sesuai resep untuk perawatan diabetes mereka. Mereka dibawah pengawasan ahli endokrinologi, tanpa perubahan perawatan diabetes satu tahun sejak sebelum studi dan dibolehkan untuk menjalani perawatan periodontal oleh dokternya. Indeks massa tubuh (BMI) diestimasi dengan membagi berat tubuh (dalam kilogram) dengan kuadrat tinggi (dalam meter).
Seluruh pasien menjalani pemeriksaan klinis periodontal pada 6 sisi tiap gigi (molar tiga tidak dimasukkan) oleh pemeriksa tertara yang telah terlatih (κ = 0.93, data tidak ditunjukkan). Kehadiran biofilm supragingiva dan perdarahan marginal gingiva dicatat, masing-masing, dengan indeks plak yang terlihat (VPI) (Ainamo & Bay 1975) dan indeks perdarahan gingiva (GBI) (Ainamo & Bay 1975). PD, CAL dan BOP juga dievaluasi menggunakan probe Universitas Carolina Utara (Hu-Friedy, Chicago, IL, USA).

Pengujian inflamasi biomarker
Sampel darah dikumpulkan setelah tiap individu mimimal 8 jam berpuasa. FIB (mg/dl) dicatat dengan metode Clauss menggunakan perlengkapan komersil (Wiener Laboratorios A.S.I.C., Rosario, Argentina), dan hs-CRP (mg/l) dianalisa secara imunologi menggunakan perlengkapan komersial (DADE Behring, Deefield, IL, USA) sesuai instruksi pabrik.
Konsentrasi plasma IL-4, IL-6, IL-8, IL-10 dan TNF-α dianalisa menggunakan teknik multiple bead (Bio=Plex system, Bio-Rad Laboratories, Hercules, CA, USA) menggunakan perlengkapan sitokin manusia sensitivitas-tinggi yang tersedia secara komersil (Linco Research Inc.,St.Charles,MO,USA) dengan mengikuti instruksi pabrik. Hasilnya dikalkulasi menggunakan software khusus (Bio-Plex system, Bio-Rad Laboratories).

Kontrol metabolik
Untuk mengevaluasikontrol metabolik, konsentrasi hemoglobin terglikosilasi (HbAlc) (%) diukur dengan kromatografi cairan dayaguna-tinggi (DiaSTAT Haemoglobin Alc Analyser System, BioRad Laboratories). Glukosa plasma puasa/gula darah puasa (FPG) (ml/dl) ditentukan menggunakan metode oksidasi glukosa (Labtest Diagnostica S.A., Lagoa Santa, MG, Brazil).

Perawatan periodontal
Pasien menerima perawatan periodontal tanpa-operasi, terdiri dari instruksi higiene oral, dan scalling dan root planing dibawah anestesi lokal. Perawatan kira-kira empat sesi dalam satu bulan menggunakan instrumen manual (Gracey dan McCall Curettes, Hirschfield Files, Trinity Periodontia, Sao Paulo, Brazil). Setelah perawatan periodontal, program kontrol plak profesional dilakukan dua kali sebulan selama tiga bulan (enam sesi), terdiri dari penghilangan plak supragingiva dan instruksi ulang mengenai prosedur higiene oral.
Klinisnya, biomarker/tanda-tanda biologi inflamasi dan hasil metabolik seperti halnya pengukuran BMI dinilai pada basis dan 3 bulan setelah selesainya terapi periodontal. Selama periode eksperimental, anamnesis diperbaharui dan pasien ditanyai mengenai perubahan obat-obatan terkait terapi diabetes, menggunakan anti-inflamasi atau antibiotik dan perubahan gaya hidup, termasuk olah raga dan makanan. Semua partisipan menyelesaikan studi ini.

Analisa statistik
Untuk VPI, GBI dan BOP, persentasi sisi-sisi positif diambil per pasien, lalu nilai mean dikalkulasi pada tiap grup. Untuk PD dan CAL, kadar dalam milimeter, kontrol metabolik dan BMI, nilai mean tiap individu pertama dimasukkan lalu nilai mean dikalkulasikan untuk tiap grup. Untuk analisis biomarker inflamasi, nilai tiap individu pertama-tama dimasukkan lalu nilai median dikalkulasi untuk tiap grup.
Perubahan pada data klinis dan metabolik dihadirkan dalam mean dan SD, dan perubahan data biomarker inflamasi dihadirkan dalam nilai median dengan ukuran keragaman (quartile 25% dan 75%). Perbedaan antara periode dari data klinis, metabolik, dan imunologi dianalisa menggunakan metode statistik bukan-parametrik (Wilcoxon’s matched pairs test and signed-rank test). Koreksi Bonferroni dilakukan untuk menyesuaikan perbandingan multipel.
Korelasi dikalkulasi dengan korelasi koefisien Spearman antara variabel klinis (BOP, PD atau CAL) dan metabolik (HbAlc), variabel klinis dan imunologi (IL-4, IL-6, IL-8, IL-10 atau TNF-α) dan variabel metabolik dan imunologi.
Nilai BMI dihadirkan sebagai mean dan SD, dan perbedaan antara periode dikalkulasi dengan tes-student t, sesuai distribusi data normal. Program software statistika 7.0 (StatSoft Inc., Tulsa, OK, USA) digunakan untuk menganalisa data.

Hasil
Populasi sampel
Sampel terdiri dari sembilan pria dan 14 wanita, 14 berkulit putih dan sembilan berkulit hitam, mean usia 47.5 + 7.2 tahun (kisaran 32-60 tahun) dan mean durasi diabetes 10.0 + 6.8 tahun (kisaran 1-20 tahun).
Pada seluruh sesi klinik, pasien tidak melaporkan perubahan dalam gaya hidup dan obat-obatan sehubungan terapi diabetes. Disamping itu, tidak ada pasien yang menggunakan obat-obatan antibiotik dan/atau anti-inflamasi selama periode eksperimental.
Tiga puluh sembilan persen sampel memiliki setidaknya satu komplikasi terkait diabetes, retinopati dan nefropati merupakan komplikasi yang paling sering yang terkait dengan diabetes. Lima-puluh-dua persen menggunakan agen hipoglikemik atau hanya kontrol diet, 22% menjalani perawatan insulin dan 26% dirawat dengan kombinasi insulin dan agen hipoglikemik oral.
Mean (+ SD) BMI 30.6 (+ 4.8) pada basis dan 30.0 (+ 4.6) setelah perawatan. Tidak ada perubahan signifikan setelah terapi (p = 0.681).

Penemuan klinis oral
Tabel 1 menunjukkan nilai parameter klinis pada pemeriksaan basis dan pengawasan 3 bulan. Setelah perawatan periodontal tanpa-operasi, ada peningkatan pada seluruh parameter klinis yang diawasi (p <0.05). Perawatan periodontal tidak memiliki efek yang merugikan pada pasien.
Tabel 1. Nilai mean (+ SD) untuk indeks plak yang terlihat (VPI), indeks perdarahan gingiva (GBI) dan perdarahan saat probing (BOP)
Parameter klinis
BL
3 bulan
∆ 3 bulan hingga BL †
Nilai-p
VPI (% sisi)
GBI (% sisi)
BOP (% sisi)
Mean PD (mm)
Mean CAL (mm)
Sisi yang dalam (% sisi)
Sisi yang dalam (n)
Gigi dengan sisi-sisi dalam (n)
84.5 (+ 11.1)
46.8 (+ 22.0)
90.4 (+ 10.5)
4.2 (+ 1.0)
5.4 (+ 1.3)
38.0 (+ 22.8)
51.3 (+ 34.9)
15.5 (+ 6.3)
18.2 (+ 13.8)
11.4 (+ 10.8)
28.9 (+ 16.5)
2.8 (+ 0.4)
4.6 (+ 1.1)
7.5 (+ 6.8)
9.6 (+ 10.5)
4.9 (+ 3.7)
-79.1 (+ 13.9)
- 73.5 (+ 19.5)
- 68.5 (+ 15.9)
- 1.5 (+ 0.7)
- 80.7 (+ 0.6)
- 41.7 (+ 13.7)
- 10.7 (+ 27.9)
- 10.7 (+ 4.5)
< 0.001*
< 0.001*
< 0.001*
< 0.001*
< 0.001*
< 0.001*
< 0.001*
< 0.001*

Angka mean dan presentasi sisi-sisi yang dalam (PD> 5mm), angka mean gigi dengan sisi-sisi yang dalam, mean kedalaman probing (PD) dan tingkat perlekatan klinis (CAL), ukuran semua sisi pada basis (BL) dan 3 bulan setelah perawatan pada psien dengan diabetes tipe 2 (n = 23).
*Perbedaan signifikan antara basis dan 3 bulan setelah perawatan (Wilcoxon’s signed rank test; α = 5%).
†Perubahan sejak basis hingga 3 bulan

Penemuan biomarker/tanda-tanda biologi inflamasi dan metabolik dalam plasma
Analisa univariabel menunjukkan bahwa perawatan periodontal tanpa-operasi ditujukan untuk mengurangi tingkatan kadar semua sitokin, walaupun hampir seluruhnya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Namun, reduksi pada TNF-α sangat signifikan secara statistik 3 bulan setelah terapi periodontal tanpa-operasi (p = 0.014). Perawatan juga menurunkan IL-4, dari 4.0 hingga 0.3 pg/ml, namun tidak signifikan (p = 0.211) (Tabel 2). Ada variasi yang besar pada respon IL-4; 11 pasien dari 23 pasien menunjukkan level IL-4 yang lebih rendah setelah perawatan, enam pasien memiliki IL-4 setelah perawatan sebanding dengan nilai basis dan enam memiliki level dibawah batas deteksi baik sebelum maupun sesudah perawatan. Pada basis, ada korelasi negatif signifikan antara IL-4 dan BMI, r = -0.48, p = 0.020 (Korelasi Spearman rank). Perubahan pada IL-4 tidak berkorelasi dengan BMI.
Tabel 2. Nilai media (persentil 25/27) hemoglobin terglikosilasi (HbA1c), glukosa plasma puasa (FPG), protein reaktif-C sensitivitas tinggi (hs-CRP), fibrinogen (FIB), nekrosis tumor faktor-α (TNF-α) dan interleukin (IL); IL-4, IL-6, IL-8 dan IL-10 pada basis dan 3 bulan setelah terapi periodontal pada pasien dengan diabetes tipe 2 (n = 23)
Tanda-tanda dalam plasma
Basis
3 bulan
Nilai-p
HbA1c (%)
FPG (mg/dl)
Hs-CRP (mg/l)
FIB (mg/dl)
TNF-α (pg/ml)
IL-4 (pg/ml)
IL-6 (pg/ml)
IL-8 (pg/ml)
IL-10 (pg/ml)
9.1 (7.9/11.0)
241.0 (163.5/283.5)
6.3 (4.0/10.6)
368.0 (310.0/420.0)
5.6 (4.3/7.4)
4.0 (0.0/12.3)
3.1 (2.1/4.2)
3.0 (2.1/4.4)
11.9 (2.9/22.9)
8.7 (7.7/11.3)
195.0 (154.0/259.5)
5.4 (2.1/9.1)
329.5 (296.5/378.5)
4.8 (2.7/6.7)
0.3 (0.0/4.9)
2.3 (1.2/4.5)
2.4 (1.6/4.7)
8.6 (4.1/12.7)
0.817
0.533
0.212
0.037*
0.014*
0.211
0.627
0.144
0.244




*Perbedaan signifikan, perbandingan antara basis dan 3 bulan setelah perawatan
Mengenai protein fase-akut, perbandingan univariasi menunjukkan bahwa reduksi pada level FIB setelah perawatan secara statistik signifikan (p =0.037), sedangkan reduksi hs-CRP tidak mencapai signifikansi.
Setelah penyesuaian untuk perbandingan multipel, efek perawatan pada TNF-α dan FIB tidak mencapai signifikansi.
Pada basis, HbA berkisar antara 7.0% hingga 12.5% dan nilai FPG berkisar antara 100 hingga 424 mg/dl. Nilai (+ SD) HbAlc pada basis dan 3 bulan setelah perawatan, masing-masing adalah 9.5% (+ 1.7) melawan 9.2 (+ 2.0). Selain itu, nilai mean (+ SD) FPG pada basis dan setelah terapi, masing-masing adalah 232.5 mg/dl (+ 85.4) melawan 213.0 mg/dl (+ 74.0). Reduksi pada kedua parameter tersebut tidak signifikan.
Tidak ada korelasi antara parameter klinis dan imunologi periodontitis ditemukan diantara individu-individu dalam studi ini.

Diskusi
Perawatan tanpa-operasi yang sukses secara klinis dimaksudkan untuk mengurangi marker/tanda-tanda inflamasi sistemik dan kadar sitokin. Kebanyakan perbedaan tidak signifikan secara statistik namun beberapa penemuan bisa relevan. TNF-α telah dilaporkan memiliki peran kunci dalam patogenesis diabetes tipe 2 (Fernandez-Real & Ricart 2003), dan korelasi sitokin dengan resistensi insulin juga telah ditunjukkan pada sindrom metabolik (Ingelsson dkk. 2008, King 2008) Pengaruh TNF-α pada resistensi insulin diyakini karena kemampuannya untuk menghambat insulin-dependent autophospsorylation dari reseptor insulin dan fosforilasi reseptor insulin substrat-1, substrat utama reseptor in vivo insulin.
Penemuan utama dari studi prospektif ini adalah bahwa respon kepuasan klinis terhadap terapi periodontal tanpa-operasi diikuti dengan sikulasi konsentrasi TNF-α pada pasien T2DM. Hal ini sejalan dengan studi-studi yang melaporkan bahwa terapi periodontal mekanis sekaitan dengan pemberian antibiotik lokal (Iwamoto dkk 2001) atau tidak (Dag dkk 2009) menurunkan sirkulasi TNF-α. Sebaliknya, beberapa studi tidak menunjukkan perubahan pada level TNF-α pada pasien dengan diabetes setelah terapi periodontal (Al-Mubarak dkk 2002, Talbert dkk 2006, Lalla dkk 2007, O’Connel dkk 2008). Faktor-faktor seperti status periodontal, tipe diabetes dan pengginaan antibiotik sistemik kemungkinan dapat menjelaskan perbedaan ini.
Sitokin sirkulasi lainnya yang diselidiki dalam studi ini (IL-4, IL-6, IL-8,dan IL-10) juga lebih tinggi pada basis dibanding setelah perawatan periodontal. Namun, karena variabilitas individu yang tinggi terhadap ekspresi sitokin, reduksi tidak mencapai signifikansi. Variabilitas antar pasien dalam responnya terhadap terapi periodontal juga telah dilaporkan oleh Behle dkk (2009). Pada studi ini, reduksi IL-4 diamati setelah perawatan, yang mana telah terjadi penurunan lebih dari 90%, namun tidak mencapai signifikansi. Telah diketahui bahwa tidak semua pasien memberi respon yang serupa terhadap pemberian terapi, menyebabkan adanya variabilitas respon diantara subyek. Dalam studi ini, ada variasi yang besar pada respon IL-4 dan walaupun alasan atas bervariasinya respon ini belum jelas, hipotesis yang mungkin adalah jaringan lemak, diwakili oleh BMI yang tinggi, dapat mengganggu naiknya IL-4. Dalam sampel kami, nilai IL-4 pada basis menunjukkan korelasi negatif dengan BMI namun perubahan pada IL-4 tidak berkorelasi dengan BMI.
Level FPG tidak berubah secara signifikan setelah terapi pada studi ini sejalan dengan studi studi yang lalu (Iwamoto dkk 2001, Rodrigues dkk 2003, Faria-Almeida dkk 2006, O’Connel dkk 2008). Dalam studi ini, ada penurunan pada level HbAlc setelah terapi periodontal tanpa-operasi, tapi reduksi ini tidak mencapai signifikansi. Hal ini sejalan dengan studi yang lalu (untuk tinjauan, lihat Jones dkk 2007). Sebaliknya, yang lain menyarankan bahwa kontrol infeksi periodontal memperbaiki kontrol metabolik (Iwamoto dkk. 2001, Kiran dkk 2005), Navarro-Sanchez dkk 2007, O’Connel dkk 2008); Akan tetapi, dalam beberapa studi tersebut, terapi periodontal dihubungkan dengan pemberian antibiotik lokal (Iwamoto dkk 2001) atau sistemik (O’Connel dkk 2008). Dalam hal ini, penting untuk menggaris bawahi fakta bahwa tetrasiklin dan turunannya dapat bertindak secara langsung dalam produksi insulin (Qin dkk 2002) dan beberapa reduksi HbAlc setelah terapi bisa jadi dikarenakan antibiotik per se dan tidak hanya karena meningkatnya infeksi periodontal. Partisipan dalam studi ini dianggap, rata-rata, obesitas (mean BMI 30.6 kg/m2 pada basis) dan tidak menunjukkan perubahan signifikan 3 bulan setelah terapi periodontal. Meningkatnya BMI dihubungkan dengan meningkatnya jumlah dan ukuran adipocytes/lemak, yakni sel-sel dengan aktivitas metabolik yang tinggi yang memproduksi TNF-α dan IL-6 dalam jumlah besar, yang dapat memperburuk resistensi insulin dan akhirnya memperburuk kontrol metabolik (Mealay & Oates 2006).
FIB, adalah protein fase akut yang diproduksi oleh hati, telah diidentifikasi sebagai tanda-tanda inflamasi (sakkinen dkk 2001). Dalam studi ini, reduksi level FIB setelah terapi periodontal adalah ssignifikan, serupa dengan studi sebelumnya yang dilaporkan oleh Christgau dkk (1998), yang menunjukkan level FIB yang signifikan lebih rendah 4 bulan setelah terapi periodontal tanpa-operasi pada pasien dengan diabetes tipe 1 dan 2. Sebaliknya, Lalla dkk (2007) tidak melaporkan perbedaan level FIB yang signifikan setelah terapi periodontal dan yakin bahwa diabetes sendirilah yang menjadi sebab memburuknya keadaan pro-inflamasi.
CRP ditimbulkan oleh stimulus inflamasi dan dimediasi melalui jaringan sitokin yang kompleks (Ablij & Meinders 2002). Dalam studi ini, perawatan periodontal ditujukan untuk menurunkan level CRP, tapi tidak meraih signifikansi, sejalan dengan penemuan-penemuan sebelumnya pada pasien diabetes (Christgau dkk 1998). Penjelasan yang mungkin untuk reduksi yang relatif kecil pada level CRP adalah bahwa sampel yang digunakan sekarang ini tetap mengalami obesitas selama periode eksperimen dan seperti diketahui bahwa level sirkulasi CRP diinduksi bukan hanya oleh penyakit periodontal tapi juga oleh kondisi sistemik lainnya seperti hiperglikemia dan obesitas (Ingelson dkk 2008). Studi-studi sebelumnya telah melaporkan asosiasi positif BMI dan konsentrasi CRP pada pasien T2DM (Leinonen dkk 2003). \
Satu keterbatasan kami pada studi ini adalah tidak adanya kelompok pasien T2DM yang tidak menjalani perawatan periodontal sehingga perkembangan pasien ini tidak diketahui. Lebih lanjut, ukuran sampel yang kecil dikarenakan penggunaan kriteria inklusi dan ekslusi yang terbatas dengan tujuan meminimalkan hadirnya faktor-faktor pembias. Walaupun kalkulasi daya mengestimasi jumlah partisipan yang lebih rendah demi mencapai hasil yang signifikan, variabilitas respon yang lebih tinggi diantara subyek dalam studi ini dibandingkan dengan studi pilot mengakibatkan perbedaan. Mempertimbangkan jumlah perbandingan yang dibuat dan varian biologi diantara subyek, jelas bahwa populasi studi yang lebih besar dibutuhkan untuk mendapatkan kesimpulan final mengenai pengaruh perawatan periodontal terhadap tanda-tanda biologi. Karena itu, penelitian lebih lanjut sebaiknya dilakukan dengan sampel yang lebih besar, ditambah grup kontrol, demi menguraikan pengaruh terapi periodontal pada kontrol metabolik dan pada perameter inflamasi sistemik pada pasien T2DM. Dengan keterbatasan studi ini, dapat disimpulkan bahwa suksesnya terapi periodontal tanpa-operasi secara klinis bertujuan untuk mengurangi inflamasi sistemik dan konsentrasi beberapa sitokin sirkulasi, yang penting untuk pasien T2DM.

Jumat, 28 Mei 2010

"kemarin"

Paino sangat kesulitan untuk bangun pagi dan selalu terlambat sampai kantor. Bosnya memarahinya dan mengancam akan memecatna jika ia tidak berusaha memerbaiki masalahnya itu.

Maka Paino pergi ke dokter langganannya, yang kemudian memberinya sebuah pil dan menyuruhnya untuk meminumnya sebelum ia tidur. Paino tidur sangat nyenyak, bahkan ia bangun 2 jam lebih awal dari waktu yang diaturnya pada jam alarm. Ia menikmati makan pagi yang enak dan berangkat kerja dengan ceria.

"Bos," katanya, "Pilnya benar-benar bekerja!"

"Bagus kalau begitu," kata si bos, "tapi kemarin kamu ke mana?"

Minggu, 18 April 2010

seminggu di RSU WS Makassar


11 April 2010 pukul 06.00 wita, dengan menumpangi kijang innova hitam bernomor polisi DD 190 WO, dan disupiri oleh bpk azis dj, sy bersama seorang teman bernama okta tiba di gerbang salah satu rumah sakit terbesar di Indonesia, RSU terbesar & terlengkap di kawasan indonesia timur.
setelah turun dari mobil, saya langsung bergabung dengan teman - teman yang lain (k'yossi, k'yuyun, k'vivin, k'firlia, k'isra, & k'syawal) dan langsung menuju ke lantai 2 tepatnya di ruangan UGD RSU WS (singkatan dari RSU Wahidin Sudirohusodo, red).
di lantai 2 kami smua langsung menghadap ma dokter residen bedah yang akan menjadi mentor kami selama belajar di UGD. setelah di absen, kami semua menuju ruang pasien untuk mulai blajar bagaimana merawat orang2 yang menderita kecelakaan. mulai dari pertolongan pertama hingga tahap penyelamatan nyawa orang (sok malaikatx deh :p)
pasien yang masuk bervariasi mulai dari luka ringan, luka bakar, fraktur tulang diseluruh tubuh, fraktur rahang dan masih banyak yang lain..
smoga apa yang sy dapat disni dapt dijadikan pegangan untuk melengkapi ilmu untuk di implementasikan di kehidupan nyata... amin....

Sabtu, 03 April 2010

wasit indonesia di Premier League....

pada tanggal 3 april 2010, Salah satu fenomena aneh yang terjadi di dataran Inggris, tepatnya di dalah satu stadion level 5 di dunia "old trafford" di kota manchester....
hari dimana sedang dilangsungkan duel big match premier league, salah satu partai yang bisa menentukan kemana trofi liga inggris berlabuh.... Mega duel antara the Red Devil versus The Blues Chelsea... laga akbar ini berlangsung normal sampai pada menit ke 79, saat drogba menceploskan bola ke gawang van der sar untuk kedua kalinya... awalnya para pendukung Man. United tidak memperdulikan bola yang masuk tersebut karena posisi drogba saat menerima bola berada dalam posisi offside... tapi fakta dilapangan berkatan sebaliknya, hakim garis tidak mengangkat bendera pertanda offside, tapi mengesahkan gol untuk membawa chelsea unggul sementara dengan skor 2-0...
kejadian diatas yang sy anggap, fenomena aneh... kenapa bisa di kompetisi terbaik di eropa, tetapi wasit masih bisa kecolongan, dan mengambil keputusan yang sangat buruk... ataukah liga inggris, kekurangan tenaga wasit sampai - sampai harus mengambil wasit Indonesia untuk memimpin laga seketat ini???
dunia yang aneh.... ckckck

Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Derajat Kesehatan Gigi dan Mulut Masyarakat Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Selama 30 tahun terakhir, Indonesia mencapai berbagai keberhasilan dalam pembangunan ekonomi. Bahkan oleh Bank Dunia, Indonesia digolongkan sebagai salah satu bayi ajaib di Asia Tenggara yang mencapai keberhasilan dalam pembangunan ekonomi. Pendapatan rata-rata penduduk meningkat, jumlah orang miskin berkurang dan kesejahteraan penduduk semakin baik. Hal ini terjadi sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia di akhir tahun 1997. Dampak dari krisis telah menekan kesejahteraan rakyat, terutama mereka yang sebelum krisis telah hidup disekitar garis kemiskinan ke bawah. Salah satu indikator bagaimana terpuruknya tingkat kesejahteraan rakyat adalah terjadinya ancaman terhadap kelangsungan pangan dan gizi sebagian besar penduduk Indonesia
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia sekarang ini baru menghadapi perubahan ekonomi dan politik yang tidak menentu. Walaupun tidak merata, secara umum Bank Dunia melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif sebelum tahun 1997. Pertumbuhan ekonomi ini berdampak pada penurunan angka kemiskinan dari 40% tahun 1976 menjadi 11% tahun 1996 , penurunan kematian bayi; penurunan kematian anak 0-4 tahun; dan 25% penurunan kematian ibu. Secara statistik hal ini ditunjang pula dengan pencapaian keamanan pangan, dan pencapaian pelayanan kesehatan terutama pada ibu dan anak.1
Krisis ekonomi memperlambat proses penurunan yang telah terjadi selama tiga dekade terakhir. Krisis ekonomi berakibat menurunnya nilai rupiah yang berakibat pada merosotnya pendapatan perkapita dan menyebabkan jumlah penduduk miskin semakin meningkat. Dampak krisis ekonomi terhadap kesehatan masyarakat dapat dilihat secara tidak langsung. Disadari secara luas bahwa dampak krisis ekonomi berdampak negatif pada status kesehatan masyarakat, akan tetapi bukti nyata secara statistik masih perlu dikaji agar tidak terjadi kontradiksi. Kenyataannya kajian perubahan morbiditas dan mortalitas pada penduduk masih dilakukan terus menerus. Diperlukan informasi data kesehatan dengan kualitas yang baik dari sistem pelayanan kesehatan dan juga survei lainnya.1
Status social ekonomi kemungkinan berhubungan dengan satu atau lebih factor – factor penghalang yang harus diperhatikan yang mempunyai pengaruh secara langsung pada kesehatan gigi. Factor penghalang pasien terhadap perawatan kesehatan gigi sudah lama dikenal termasuk factor ekonomi, geografi, pendidikan, budaya, social, dan factor psikologi.2
Menurut penelitian yang dilakukan oleh M. H. Hobdel dkk dari Inggris, telah lama dilakukan penelitian terhadap status sosial ekonomi yang rendah memliliki tingkat kesehatan yang lebih rendah dibandingkan dengan status sosial ekonomi yang tergolong tinggi. Beberapa studi telah mencari bukti nyata didalam kondisi kehidupan dengan menjadikan kemiskinan sebagai objeknya dan berbagai penjelasan yang tidak adekuat untuk menjelaskan perbedaan kesehatan diantara sosial ekonomi rendah dengan sosial ekonomi tinggi. Penyakit jantung, stroke dan penyakit gigi adalah beberapa contoh penyakit terbanyak yang terdapat di tingkatan sosial ekonomi rendah dan sedikit sekali dijumpai di tingkatan sosial ekonomi tinggi. Itu hanya beberapa hal yang dapat dilihat dari perbedaan sosial ekonomi rendah dengan sosial ekonomi tinggi.3
Barombong merupakan salah satu kelurahan yang terletak di bagian utara dari kota Makassar. Kelurahan Barombong ini termasuk di dalam Kecamatan Tamalate. Kelurahan Barombong terbagi atas 9 (sembilan) ORW yaitu Barombong, Bungaya, Pattukangan, Bontokapetta, Bontoa, Kaccia, Tomposappa, Sumanna, Timbuseng, dan Bayowa. Keadaan sosial ekonomi di wilayah Barombong cukup beragam seperti tingkat pendidikan dan mata pencahariannya. 4
Tingkat pendidikan masyarakat di kelurahan Barombong sebagian besar sudah dianggap baik. Tetapi masih ada juga yang tingkat pendidikan / pengetahuan yang masih rendah sehingga dapat memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap program kesehatan. Namun demikian kita harus menyadari bahwa tingkat pendidikan masyarakat dari tahun ke tahun telah menunjukkan kemajuan / peningkatan dengan semakin meningkatkan masyarakat untuk meningkatkan masyarakat untuk memanfaatkan sarana pendidikan yang ada. 4
Mata pencaharian penduduk kelurahan Barombong adalah sebagian besar petani, peternak, nelayan, pegawai negeri, wiraswasta, buruh industri, pedagang, buruh bangunan dan supir angkutan umum. 4
Pada umumnya masyarakat masih menganggap penyakit gigi dan mulut bukanlah suatu penyakit yang serius. Kesehatan umum dianggap lebih penting dan dinilai lebih tinggi daripada kesehatan gigi dan mulut. Meskipun mempunyai keluhan pada gigi dan mulut, sebagian besar masyarakat menunda kunjungannya ke fasilitas pelayanan kesehatan gigi. Adapun faktor lain yang menyebabkan masih rendahnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan gigi adalah terdapatnya perbedaan konsep masyarakat tentang sakit gigi dengan konsep sakit gigi menurut tenaga kesehatan. 5
Masyarakat memiliki konsep sehat-sakit tersendiri yang tidak sejalan dengan konsep sehat sakit yang dimiliki tenaga kesehatan. Selama masih ada perbedaan konsep masyarakat tentang sehat-sakit dan selama belum ada perubahan konsep-konsep yang salah ini, maka peningkatan penggunaan fasilitas kesehatan akan berjalan lambat. 5
Dengan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan gigi oleh masyarakat, diharapkan mendapat gambaran yang lebih jelas tentang pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan gigi oleh masyarakat, perlu dilakukan suatu penelitian mengenai hal tersebut. Peneliti merasa tertarik untuk mengetahui sejauhmana pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut oleh masyarakat dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat kota Makassar. 5
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2004, dewasa ini penyakit karies gigi dan periodontal telah dialami oleh sekitar 90% masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi karena kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut sangat minim. Penyakit gigi dan mulut tersebut adalah penyakit jaringan periodontal dan karies gigi, yang mempunyai sifat progresif yang bila tidak dirawat atau tidak diobati akan makin parah, dan bersifat irreversible yaitu jaringan yang rusak dan tidak dapat kembalih atau pulih seperti semula. Penyakit tersebut memiliki hubungan yang erat dengan keadaan kebersihan mulut yang terabaikan sehingga terbentuk lapisan yang melekat erat pada permukaan gigi dan mengandung bakteri yang disebut plak. 5
Status kesehatan gigi dan mulut merupakan salah satu indicator yang dapat digunakan untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010. Status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh empat factor penting antara lain keturunan, lingkungan fisik maupun social budaya, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Perilaku merupakan salah satu factor terpenting yang dapat mempenagruhi status kesehatan gigi dan mulut. 5
Berbicara mengenai kebersihan gigi dan mulut, maka pembentukan plak adalah merupakan salah satu pencetus terjadinya penyakit periodontal. Plak gigi merupakan lapisan bakteri yang lunak, tidak terkalsifikasi, menumpuk dan melekat pada gigi geligi dan objek lain dalam mulut, misalnya restorasi, protesa dan kalkulus. Dalam bentuk lapisan tipis, plak umumnya tidak terlihat dan hanya dapat terlihat dengan bantuan bahan disclosing. Dalam bentuk lapisan yang tebal plak terlihat sebagai deposit kekuningan atau keabu-abuan yang tidak dapat dilepas dengan kumur-kumur atau irigasi tetai dapat dihilangkan dengan penyikatan. Lokasi plak yang terbanyak pada daerah sepertiga gingiva dan interproximal. Karena plak berakumulasi dalam jumlah yang besar diregio interdental yang terlindungi, inflamasi ginggiva cenderung dimulai pada daerah papilla interdental dan menyebar ke sekitar gigi. 5
Dengan perawatan yang baik kita akan dapat mencegah penyakit gigi dan mulut yaitu antara lain dengan membersihkan gigi dan mulut dari sisa-sisa makanan yang biasanya tertinggal di antara gigi atau fissure gigi. Sisa-sisa makanan tersebut dikenal dengan sebutan food debris.
Food debris ini merupakan media yang baik untuk berkembangnya bakteri. Sehingga semakin lama melekat, bakteri itu semakin banyak dan bertumpuk, lapisan bakteri yang lunak pada gigi ini disebut dengan plak. Bila plak ini dibiarkan maka akan mengalami mineralisasi sehingga terbentuk kalkulus. Sedang kalkulus berperan sebagai factor etiologi penyakit periodontal.
Di dalam mulut juga sudah mempunyai system pembersihan sendiri yaitu air ludah dan lidah, tapi dengan banyaknya jenis variasi makanan yang diproduksi oleh berbagai macam pabrik makanan sekarang ini, pembersihan alamiah ini tidak lagi dapa berfungsi dengan baik. Oleh sebab itu, kita juga harus menggunakan sikat gigi sebagai alat bantu untuk membersihkan gigi dan mulut. Telah terbukti bahwa gigi yang bersih sangat sedikit sekali kemungkinannya terserang karies gigi.
Plak gigi merupakan deposit lunak yang terdiri dari kumpulan bakteri yang melekat ada permukaan gigi atau bagian-bagian rongga mulut lainnya, seperti jaringan ginggiva dan lidah. Distribusinya pada permukaan gigi umumnya pada daerah yang kurang menerima self cleansing, yaitu permukaan proximal dan beberapa servikal gigi. Plak gigi sangat berperan pada awal perkembangan penyakit periodontal dan karies gigi.
Tingkat pendidikan tiap individu di Negara kita ini sangatlah beragam. Ada yang sukses menyelesaikan pendidikan di jenjang perguruan tinggi, tetapi ada juga segelintir orang yang hanya mampu menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Bahkan ada juga yang tidak sempat sama sekali untuk menerima pelajaran di bangku-bangku sekolah.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berinisiatif untuk meneliti hubungan sosial ekonomi yang meliputi tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan pembayaran listrik tiap bulannya dengan status kesehatan gigi dan mulut.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan sosial ekonomi dengan status kesehatan gigi dan mulut masyarakat kelurahan Barombong Kleurahan Tamalate Makassar
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan status kesehatan gigi dan mulut masyarakat di kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam rangka peningkatan kesehatan khususnya kesehatan gigi dan mulut serta dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam hal efektifitas frekuensi menyikat gigi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tingkat Sosial Ekonomi
Tingkat kesadaran masyarakat di kota besar terhadap kesehatan gigi makin tinggi, tetapi sayang baru sedikit yang mau melakukan pencegahan gigi berlubang sejak dini. Terbukti, karies atau gigi berlubang merupakan penyakit infeksi yang umum di dunia dan ditemukan pada 95% penduduk dunia. Padahal, gigi yang sehat dan cantik menjadi idaman semua orang. 6
Dalam pengertian sosial atau pergaulan antar manusia (kelompok, komunitas), kemandirian juga bermakna sebagai organisasi diri (sef-organization) atau manajemen diri (self-management). Unsur-unsur tersebut saling berinteraksi dan melengkapi sehingga muncul suatu keseimbangan. Pada aras ini, pencarian pola yang tepat, agar interaksi antar unsur selalu mencapai keseimbangan, menjadi sangat penting. Setiap keseimbangan yang dicapai akan menjadi landasan bagi perkembangan berikutnya. Proses kemandirian adalah proses yang berjalan tanpa ujung. 6
Tingkat sosial ekonomi yang dalam hal ini lebih kita bahas mengenai tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan biaya yang dikeluarkan untuk membayar listrik setiap bulannya mempengaruhi kebersihan gigi tiap individu. Tingkat pendidikan tiap individu di Negara kita ini sangatlah beragam. Ada yang sukses menyelesaikan pendidikan di jenjang perguruan tinggi, tetapi ada juga segelintir orang yang hanya mampu menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Bahkan ada juga yang tidak sempat sama sekali untuk menerima pelajaran di bangku-bangku sekolah. Begitu juga dengan jenis pekerjaan, di negara kita ini ada beraneka macam jenis pekerjaan yang diperuntukkan untuk setiap orang yang tersebar luar di seluruh pelosok negara ini.
Lebih ironis lagi, pembangunan di bidang ekonomi ini tidak menjamin terwujudnya perbaikan ekonomi masyarakat secara merata. Dua hal yang menjadi penyebabnya adalah: pertama, pembangunan ekonomi itu hanya mengutamakan pertumbuhan. Kedua, tidak efisiennya sistem birokrasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Ketidakefisienan ini telah menimbulkan kesenjangan dalam kepemilikan akses atas pembangunan. Dengan kata lain, hanya individu-individu atau kelompok masyarakat tertentu yang memkmati hasil pembangunan tersebut. Golongan yang diuntungkan ini adalah mereka yang dekat dengan elit kekuasaan, atau mereka yang secara sosial ekonomi memang mampu meraih kesempatan yang ada. 6
Tentu saja golongan yang diuntungkan ini merupakan golongan kecil dari masyarakat. Sebagian besar masyarakat, karena berada dalam tingkat sosial ekonomi yang memprihatinkan, tidak mampu mengambil manfaat atas hasil-hasil pembangunan. Golongan terakhir ini hidup di perkampungan-perkampungan kumuh di perkotaan dan di pedesaan. Karena tekanan struktur kekuasaan, sosial, ekonomi, maupun politik begitu besar, mereka tertinggal jauh dari kemajuan ekonomi yang semakin menyulitkan kehidupan sehari-hari. 6
Lebih jauh dikemukakan perbedaan tingkat sosial ekonomi pada umumnya berpengaruh terhadap kebersihan gigi dan mulut, bau yang tak sedap yang keluar dari mulut sering dialami mereka yang memiliki tingkat pendidikan sangat rendah dengan tingkat kemampuan secara ekonomi tidak cukup baik. masyarakat yang tingkat pendidikannya tinggi dan kemampuan ekonominya cukup memadai, biasanya sangat memperhatikan masalah kesehatan terutama gigi dan mulut. 6
Telah lama dilakukan penelitian terhadap status sosial ekonomi yang rendah memliliki tingkat kesehatan yang lebih rendah dibandingkan dengan status sosial ekonomi yang tergolong tinggi. Beberapa studi telah mencari bukti nyata didalam kondisi kehidupan dengan menjadikan kemiskinan sebagai objeknya dan berbagai penjelasan yang tidak adekuat untuk menjelaskan perbedaan kesehatan diantara sosial ekonomi rendah dengan sosial ekonomi tinggi. Penyakit jantung, stroke dan penyakit gigi adalah beberapa contoh penyakit terbanyak yang terdapat di tingkatan sosial ekonomi rendah dan sedikit sekali dijumpai di tingkatan sosial ekonomi tinggi. Itu hanya beberapa hal yang dapat dilihat dari perbedaan sosial ekonomi rendah dengan sosial ekonomi tinggi.3
2.2. Status Kesehatan Gigi dan Mulut
2.2.1. Karies
Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yaitu email, dentin dan sementum yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Tandanya adalah adanya demineralisasi jaringan keras gigi yang kemudian diikuti oleh kerusakan bahan organiknya. Akibatnya terjadinya infasi bakteri dan kematian pulpa serta penyebaran infeksinya ke jaringan periaeks yang dapat menyebabkan nyeri. Jika tidak ditangani, penyakit ini dapat menyebabkan nyeri, penanggalan gigi, infeksi, berbagai kasus berbahaya, dan bahkan kematian. Penyakit ini telah dikenal sejak masa lalu, berbagai bukti telah menunjukkan bahwa penyakit ini telah dikenal sejak zaman Perunggu, zaman Besi, dan masa pertengahan. Peningkatan prevalensi karies banyak dipengaruhi perubahan dari pola makan. Kini, karies gigi telah menjadi penyakit yang tersebar di seluruh dunia.7
Menurut Mahesh Kumar, Joseph T, Varma R dan Jayanti M dari India, Karies gigi menjadi penyakit yang prevalensinya paling tinggi yang menyerang gigi permanen, lebih besar daripada gigi susu dan lebih banyak pada murid sekolah berbadan hukumdaripada sekolah pribadi. Dengan demikian terlihat korelasi dengan status social ekonomi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kebutuhan terbesar dari pendidikan kesehatan gigi dan mulut pada usia dini meliputi instruksi yang tepat dari penatalaksanaan Oral Hygiene dan program preventif dari sekolah yang akan membantu meningkatkan perilaku preventif kesehatan gigi dan sikap yang berguna di dalam kehidupannya.8
Ada empat factor penting yang dapat menimbulkan karies, yakni :
1. Mikroflora : Bakteri asidogenik yang berkolonisasi pada permukaan gigi.
2. Host : Kuantitas dan kualitas saliva, kualitas gigi dll
3. Diet : Karbohidrat yang dapat difermentasi, khususnya sukrosa, tetapi bias juga makanan dari bahan tepung.
4. Waktu : Total waktu yang terpapar oleh asam inorganic yang diproduksi oleh bakteri plak.9
Ada beberapa cara untuk mengelompokkan karies gigi. Walaupun apa yang terlihat dapat berbeda faktor-faktor risiko dan perkembangan karies hampir serupa. Mula-mula, lokasi terjadinya karies dapat tampak seperti daerah berkapur namun berkembang menjad lubang coklat. Walaupun karies mungkin dapat saja dilihat dengan mata telanjang, terkadang diperlukan bantuan radiografi untuk mengamati daerah-daerah pada gigi dan menetapkan seberapa jauh penyakit itu merusak gigi.7
Karies disebabkan oleh beberapa tipe dari bakteri penghasil asam yang dapat merusak karena reaksi fermentasi karbohidrat termasuk sukrosa, fruktosa, dan glukosa. Asam yang diproduksi tersebut mempengaruhi mineral gigi sehingga menjadi sensitif pada pH rendah. Sebuah gigi akan mengalami demineralisasi dan remineralisasi. Ketika pH turun menjadi di bawah 5,5, proses demineralisasi menjadi lebih cepat dari remineralisasi. Hal ini menyebabkan lebih banyak mineral gigi yang luluh dan membuat lubang pada gigi.7,9
Bergantung pada seberapa besarnya tingkat kerusakan gigi. Sebuah perawatan dapat dilakukan. Perawatan dapat berupa penyembuhan gigi untuk mengembalikan bentuk, fungsi, dan estetika. Namun belum diketahui caranya Maka, organisasi kesehatan gigi terus menjalankan penyuluhan untuk mencegah kerusakan gigi, misalnya dengan menjaga kesehatan gigi dan makanan.7,9
Usaha paling tepat mencegah karies gigi adalah mengurangi makanan penyebab. Langkah ini harus diajarkan dan ditekankan terutama pada anak – anak. Selain mengurangi makanan penyebab, dianjurkan untuk menggosok gigi secara teratur serta memeriksakan kondisi gigi kepada dokter gigi secara teratur minimal 6 bulan sekali.7,9
2.2.2. Kalkulus
Kalkulus adalah massa yang mengalami kalsifikasi, yang melekat dan menumpuk pada permukaan gigi dan struktur – struktur keras lainnya didalam mulut. Biasanya kalkulus terdiri dari bakteri plak yang termineralisasi.9
Kalkulus jarang ditemukan pada gigi susu dan tidak sering ditemukan pada gigi permanen anak usia muda. Meskipun demikian, pada usia 9 tahun, kalkulus sudah dapat ditemukan pada sebagian besar rongga mulut dan pada hampir seluruh rongga mulut individu dewasa. Kalkulus dapat kita bedakan menjadi dua macam yaitu kalkulus supraginggiva dan kalkulus subginggiva.11,12
2.2.3. Food Debris
Food debris adalah sisa – sisa makanan yang dicairkan oleh enzim – enzim bakteri, dan dibersihkan dari rongga mulut setiap lima menit setelah makan, tetapi sebaian tetap tinggal dipermukaan gigi dan mukosa dan lebih mudah dibersihkan daripada plak. 10
Meskipun food debris juga mengandung bakteri, namun berbeda dengan bactery coatings (plak dan materi alba). Food debris seharusnya dibedakan dari serat – serat yang terjerat didaerah interproximal pada daerah timbunan makanan.10
Laju pembersihan rongga mulut yang dipengaruhi oleh aliran saliva (ludah), aksi mekanik lidah, pipi, dan bibir bervariasi tergantung jenis makanan dari masing – masing individu. Sebagai contoh, makanan lengket atau lunak seperti roti, buah ara, caramel akan melekat pada permukaan gigi paling lama satu jam, sebaliknya makanan – makanan kasar seperti wortel mentah, apel, dapat dibersihkan dengan cepat. Pengunyahan makanan berserat dapat secara efektif membersihkan sebagian food debris dari rongga mulut, walaupun itu tidak memiliki efek yang berarti pada pengurangan plak. 10
2.3. Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Status Kesehatan Gigi dan Mulut
Telah lama dilakukan penelitian terhadap status sosial ekonomi yang rendah memliliki tingkat kesehatan yang lebih rendah dibandingkan dengan status sosial ekonomi yang tergolong tinggi. Beberapa studi telah mencari bukti nyata didalam kondisi kehidupan dengan menjadikan kemiskinan sebagai objeknya dan berbagai penjelasan yang tidak adekuat untuk menjelaskan perbedaan kesehatan diantara sosial ekonomi rendah dengan sosial ekonomi tinggi. Penyakit jantung, stroke dan penyakit gigi adalah beberapa contoh penyakit terbanyak yang terdapat di tingkatan sosial ekonomi rendah dan sedikit sekali dijumpai di tingkatan sosial ekonomi tinggi. Itu hanya beberapa hal yang dapat dilihat dari perbedaan sosial ekonomi rendah dengan sosial ekonomi tinggi.3
Faktor sosial ekonomi masyarakat merupakan sebab yang mengarah pada suatu keputusan ekonomi maupun non ekonomi, untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan umum, kadang-kadang tindakan perorangan atau kelompok atas kegiatan produksi dan komsumsi yang secara tidak sadar dapat menimbulkan eksternalitas bagi orang lain. 6
Kemandirian (self-reliance) adalah suatu konsep yang sering dihubungkan dengan pembangunan. Dalam konsep ini program-program pembangunan dirancang secara sistematis agar individu maupun masyarakat menjadi subyek dari pembangunan. Walaupun kemandirian, sebagai filosofi pembangunan, juga dianut oleh negara-negara yang telah maju secara ekonomi, tetapi konsep ini lebih banyak dihubungkan dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara sedang berkembang. 6
Persepsi ini muncul dikarenakan penjajahan yang berlangsung lama, yang dengan efektif menggunakan kekuasaan feodal pribumi, telah meninggalkan warisan berupa tatanan ekonomi sosial serta mentalitas masyarakat yang tidak siap mengemban kemerdekaan yang telah diraih. Dalam kondisi semacam inilah negara-negara sedang berkembang bergaul dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju secara ekonomi. Tidak bisa lain, untuk mengejar ketertinggalannya di bidang ekonomi, negara-negara tersebut harus melakukan pelbagai program pembangunan. Sayangnya, pembangunan yang mereka laksanakan seringkali terfokus hanya pada bidang ekonomi, dengan sasaran utama meningkatkan produksi dan pendapatan, dan jarang memperhatikan faktor manusia sebagai subyek. Dalam praktik sering kita jumpai martabat manusia merosot hingga sekedar menjadi alat untuk mencapai tujuan ekonomi.6

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian Observasional Analitik14
3.2. Lokasi Penelitian
Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar
3.3. Waktu Penelitian
27 Desember 2008 – 9 Januari 2009
3.4. Populasi Penelitian
Masyarakat Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar yang berusia lebih dari 20 tahun. 13
3.5. Metode Sampling
Kelurahan Barombong dibagi menjadi 9 RW. Di setiap RW peneliti mengambil sampel sesuai dengan jumlah sampel yang dibutuhkan. Adapun sampel yang diambil yaitu sampel yang berada dilokasi pada saat peneliti melakukan penelitian. Setelah itu, dilakukan wawancara terlebih dahulu dengan sampel lalu diadakan pemeriksaan status gigi dan mulut.
3.6. Cara Penentuan Besar Sampel
Untuk cluster random sampling maka rumus penentuan besar sampel yang digunakan adalah 14 :
Jumlah Sampel=n/(1+n(d^2))
Jadi, n = 4020; d = 5 % = 0,05
Maka; Jumlah Sampel = n/(1+n〖(d)〗^2 )=4020/(1+4020(〖0.05)〗^2 )=362
Besar sampel yang diperlukan yaitu 362 orang.
3.7. Cara Pengumpulan Data / Jalannya Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan cara cluster random sampling, yaitu peneliti langsung turun ke setiap RW di kelurahan Barombong. Disetiap RW dilakukan penelitian pada sejumlah sampel dengan usia 20 tahun keatas. Peneliti mengambil data dengan cara melakukan wawancara singkat dan dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan gigi dan mulut.
Cluster yang dimaksud disini yaitu peneliti melakukan penelitian dilakukan di sebuah kawasan yang telah ada, dan random dimaksudkan disini yaitu mengambil sampel secara acak yang berada ditempat pada saat peneliti melakukan penelitian
Pencatatan nama, umur dan jenis kelamin
3.8. Alat dan Bahan Yang Digunakan
Alat yang digunakan :
1. Kaca mulut (mirror)
2. Sonde
3. Nierbeken
4. Pinset
5. Alat tulis menulis
Bahan yang digunakan :
1. Alkohol 70 %
2. Betadin
3. Kapas
3.9. Data14
Jenis Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diambil secara langsung dari objek yang akan diteliti
Penyajian data
Penyajian data dalam bentuk tabel
Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 16.0
Analisis Data
Analisi data menggunakan analisis chi-square
3.10. Definisi Operasional15
Tingkat Sosial Ekonomi
Jenjang yang membedakan masyarakat yang bermukim di suatu daerah meliputi tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan kategori biaya listrik yang dibayar tiap bulannya.
Status Kesehatan Gigi
Penilaian yang diberikan terhadap kebersihan gigi antara lain karies, debris, kalkulus, dan penyakit periodontal.
3.11. Kriteria Penilaian
Karies gigi adalah karies yang dinilai dengan menggunakan indeks DMF-T dengan kriteria sebagai berikut :
Decayed (D) adalah gigi dengan karies yang masih dapat ditambal termasuk gigi dengan sekunder karies. Decay ini diperiksa dengan cara apabila sonde tersangkut pada permukaan gigi.
Missing (M) adalah kehilangan gigi atau gigi dengan indikasi pencabutan yang disebabkan oleh karies.
Filling (F) adalah tambalan yang dilakukan pada gigi yang mengalami karies tanpa disertai sekunder karies. Dalam hal ini gigi yang sudah ditambal, tetap dan baik atau gigi dengan restorasi mahkota akibat karies.
Tooth (T) adalah indeks dihitung per gigi meskipun terdapat lebih dari satu kavitas pada permukaan gigi.
DMF-T Rata - rata=(Jumlah D+M+F)/(Jumlah Orang Yang Diperiksa)
Kriteria penilaian indeks DMF-T menurut Suwelo, 1992:
0,0 – 1,1 = sangat rendah
1,2 – 2,6 = rendah
2,7 – 4,4 = sedang
4,5 – 6,5 = tinggi
> 6,6 = sangat tinggi
Pemeriksaan dilakukan dengan menghitung nilai skor DI-S untuk perhitungan tingkat debris dan CI-S untuk perhitingan tingkat kalkulus sehingga diperoleh OHI-S yaitu tingkat kebersihan gigi dan mulut.
Adapun gigi yang diperiksa meliputi 6 permukaan gigi permanen yaitu :
Permukaan labial gigi Incicivus sentralis kanan atas
Permukaan labial gigi Incicivus sentralis kiri bawah
Permukaan bukal gigi Molar satu atas kiri dan kanan
Permukaan lingual gigi Molar satu bawah kiri dan kanan
Untuk menentukan skor tiap gigi yang periksa, dihitung mulai dari 1/3 ginggival kearah 1/3 incisal atau oklusal.
Arti angka dalam DI-S :
0 = tidak ada debris atau stain
1 = debris lunak yang menutupi tidak lebih 1/3 permukaan gigi atau tidak ada debris tapi ada ekstrinsik stain.
2 = debris lunak yang menutupi lebih 1/3 permukaan gigi tapi tidak lebih 2/3 permukaan gigi.
3 = debris lunak yang menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi dari arah apikal.
Nilai debris indeks (DI-S) untuk individu :
(Jumlah Gigi Tiap Individu)/6 =
Angka dalam CI-S :
0 = tidak ada kalkulus
1 = kalkulus supraginggival yang menutupi tidak lebih 1/3 permukaan gigi.
2 = kalkulus supraginggival yang menutupi lebih 1/3 permukaan gigi tapi tidak lebih 2/3 permukaan gigi, dengan / tanpa subginggival yang masih berupa plak pada servikal gigi
3 = kalukulus supraginggival menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi, dari arah apical dengan atau tanpa kalkulus subginggival yang berlanjut di daerah servikal
Nilai debris indeks (CI-S) untuk individu :
(Jumlah Gigi Tiap Individu)/6 =
Jadi dari hasil skor diatas, maka untuk kriteria penilaian OHI-S diperoleh :
NILAI OHI – S = Nilai DI-S + Nilai CI-S
Kriteria nilai OHI-S menurut Wilkins, 1976:
0,0 – 1,2 : Oral Hygiene Baik
1,3 – 3,0 : Oral Hygiene Sedang
3,1 – 6,0 : Oral Hygiene Buruk

Bila gigi indeks tidak ada, maka ketentuan yang berlaku :
1. Jika gigi molar satu tidak ada, dipakai gigi molar dua
2. Jika gigi incicivus satu kanan atas tidak, dipakai gigi incicivus satu kiri atas
3. Jika gigi incicivus satu kiri bawah tidak ada, dipakai gigi incicivus satu kanan bawah. Jika keduanya tidak ada, tidak ada penelitian.
Harus diingat bahwa gigi – gigi yang diperiksa harus gigi yang telah erupsi sempurna, suatu gigi yang telah dianggap erupsi sempurna dan dapat dinilai apabila bagian incisal atau oklusal dari gigi tersebut telah mencapai dataran oklusal.
Kategori untuk banyaknya pembayaran listrik tiap bulannya menurut data yang diperoleh dari www.pln.co.id :
< Rp. 45.000 : Rendah
Rp. 45.000 – Rp. 90.000 : Sedang
> Rp. 90.000 : Tinggi
Penelitian telah dilakukan di kota Makassar, tepatnya di kecamatan Tamalate Kelurahan Barombong pada tanggal 27 Desember 2008 – 9 Januari 2009, diperoleh sampel dengan jumlah 362 orang dengan kisaran usia 20 tahun keatas.(13)
Tabel 1 menunjukkan distribusi sampel. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa yang melakukan kegiatan berkumur setelah makan yaitu sebesar 328 % dari total jumlah sampel. Yang memeriksakan giginya ke petugas kesehatan yang dalam hal ini adalag dokter gigi yaitu 149 % dari total jumlah sampel. Berdasarkan tingkat pendidikan, dapat kita lihat dari tabel 1, sebanyak 142 % dari total jumlah sampel hanya menempuh pendidikan sampai jenjang sekolah Dasar sedang yang tidak pernah sama sekali merasakan bangku pendidikan yaitu 9.9 % dari total jumlah sampel. Jenis pekerjaan menurut tabel adalah 23.2 % dari total jumlah sampel adalah pengangguran.
berdasarkan hasil penelitian, dapat kita lihat rata – rata decay, missing, filling dan DMFT pada sampel menurut tingkat pendidikannya. Untuk nilai D, yang tertinggi yaitu sampel yang hanya menempuh pendidikannya sampai tingkat SLTA. Untuk nilai M, nilai tertinggi yaitu sampel yang sama sekali tidak pernah menikmati pendidikan sedang nilai F yang tertinggi yaitu sampel yang telah melanjutkan pendidikannya sampai tingkat perguruan tinggi. Nilai rata – rata untuk DMF-T tertinggi yaitu sampel yang tidak pernah sama sekali menikmati pendidikan.
berdasarkan hasil penelitian, dapat kita lihat nilai rata – rata decay, missing, filling dan nilai rata – rata DMF-T. Untuk nilai D, yang tertinggi yaitu sampel yang mempunyai mata pencaharian dengan bertani yaitu mencapai 2.5. untuk nilai M, yang tertinggi yaitu sampel yang bekerja sebagai nelayan dengan rata – rata mencapai 9.25. untuk nilai F, yang tertinggi yaitu sampel yang masih menjalankan rutinitasnya sebagai seorang mahasiswa dengan nilai rata – rata 0.28. Dan untuk nilai DMF-T, yang tertinggi yaitu sampel yang berprofesi sebagai petani dengan nilai 18.5.
berdasarkan hasil penelitian. Untuk nilai DIS, sampel yang hanya menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat SD adalah yang menunjukkan angka tertinggi yaitu 1.28. Begitu pula dengan nilai rata – rata CIS dan OHI-S, angka tertinggi ditunjukkan sampel yang hanya mampu menyelesaikan pendidikan sampai bangku SD yaitu masing – masing menujukkan nilai 1.35 dan 2.76.
berdasarkan hasil penelitian. Untuk nilai DIS, nilai tertinggi yaitu sampel yang mempunyai pekerjaan sebagai nelayan dengan nilai 1.33. untuk nilai CIS, nilai tertinggi yaitu sampel yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan yaitu dengan nilai 1.38. dan untuk nilai rata – rata OHI-S tertinggi yaitu sampel yang juga memiliki mata pencaharian sabagai seorang nelayan.
berdasarkan hasil penelitian. Status DMFT untuk yang tidak pernah bersekolah yaitu 2.5 % dikategorikan sangat rendah, sedang 4.4 % dikategorikan sangat tinggi. Status DMFT untuk yang menyelesaikan pendidikannya hanya sampai SD yaitu 15.2 % dikategorikan sangat rendah, sedang 7.7 % dikategorikan sangat tinggi. Status DMFT untuk yang menempuh pendidikan sampai SLTP yaitu 7.7 % dikategorikan sangat rendah sedang 3 % dikategorikan sangat tinggi. Status DMFT untuk yang menempuh pendidikan sampai SLTA yaitu sebesar 7.5 % dikategorikan sangat rendah sedang 3.3 % dikategorikan sangat tinggi. Status DMFT untuk yang telah menempuh pendidikan sampai dengan tingkat perguruan tinggi yaitu 5 % dikategorikan sangat rendah sedang 0.8 % dikaegorikan sangat tinggi.
berdasarkan hasil penelitian, dapat kita lihat status DMFT yang dilihat dari jenis pekerjaan. Status DMFT yang bekerja sebagai PNS, 1.5 % dikategorikan sangat rendah sedang 0.3 % dikategorikan sangat tinggi. Status DMFT yang bekerja sebagai wiraswasta yaitu 11.3 % dikategorikan sangat rendah sedang 8.5 % dikategorikan sangat tinggi. Status DMFT yang bekerja sebagai petani yaitu sebesar 0.3 % dikategorikan sangat rendah sedang 0.8 % dikategorikan sangat tinggi. Status DMFT yang bekerja sebagai nelayan yaitu sebesar 2.2 % dikategorikan sangat rendah sedang 2.7 % dikategorikan sangat tinggi. Status DMFT yang tidak mempunyai pekerjaan sebesar 18.5 % dikategorikan sangat rendah sedang 7.1 % dikategorikan sangat tinggi.
berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil uji statistik di peroleh hasil yang signifikan p < 0,05) untuk nilai hubungan jenis pekerjaan dengan status DMFT. Hal ini berarti terdapat hubungan yang bermakna pada status kesehatan gigi dan mulut masyarakat Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar.
berdasarkan hasil penelitian, dapat kita lihat status DMFT yang dilihat dari biaya listrik yang dikeluarkan tiap bulannya. Sampel yang membayar biaya listriknya tergolong dalam kategori rendah, status DMFT terendahnya yaitu 27.1 % sedangkan tertinggi yaitu 13.3 %. Sampel yang tergolong dalam kategori sedang dalam pembayaran biaya listrik tiap bulannya, memiliki status DMFT terendah yaitu 1.6 % sedang yang tertinggi 1.6 %. Sedang sampel yang masuk dalam kategori tinggi pembayaran listriknya dalam sebulan, memliki status DMFT terendah yaitu 9.1 % dan yang tertinggi 2.5 %.
berdasarkan hasil penelitian juga diperoleh hasil uji statistik di peroleh hasil yang tidak signifikan(p < 0,05) untuk nilai hubungan kategori biaya listrik dengan status DMFT. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna pada status kesehatan gigi dan mulut masyarakat Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat kita lihat status OHIS yang dilihat dari tingkat pendidikan. Untuk status OHIS yang dikategorikan buruk persentase tertinggi terdapat pada yang hanya mengecap pendidikan sampai bangku sekolah dasar dengan persenstase 15.7 % dari 40 sampel, begitu pula status OHIS yang digolongkan baik persentase terendah juga terdapat pada yang hanya mampu menikmati bangku pendidikan sampai dengan tingkat sekolah dasar dengan persentase 15.7 % dari 57 sampel.
berdasarkan hasil penelitian, dapat kita lihat status OHIS yang dilihat dari jenis pekerjaan. Untuk status OHIS yang dikategorikan buruk persentase tertinggi terdapat pada yang tidak memiliki pekerjaan atau pengangguran dengan persenstase 12.9 % dari 182 sampel, begitu pula status OHIS yang digolongkan baik persentase tertinggi juga terdapat pada yang tidak memiliki pekerjaan dengan persentase 21.5 % dari 182 sampel.
berdasarkan hasil penelitian, dapat kita lihat status OHIS yang dilihat dari biaya listrik tiap bulan. Untuk status OHIS yang dikategorikan buruk, persentase tertinggi terdapat pada yang membayar biaya listrik tiap bulannya tergolong rendah yaitu dengan persentase 17.7 %. Sedang status OHI-S yang dikategorikan baik, persentase tertinggi terdapat pada sampel yang membayar listrik tiap bulannya tergolong tinggi yaitu dengan persentase 8 %.
Dari tabel ini juga diperoleh hasil uji statistik di peroleh hasil yang tidak signifikan p < 0,05) untuk nilai hubungan kategori biaya listrik dengan status OHI-S. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna pada status kesehatan gigi dan mulut masyarakat Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar

BAB V
PEMBAHASAN

Penelitian telah dilakukan di kota Makassar, tepatnya di kecamatan Tamalate Kelurahan Barombong pada tanggal 27 Desember 2008 – 9 Januari 2009, yaitu Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Status Kesehatan Gigi dan Mulut di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hubungan tingkat sosial ekonomi masyarakat yang dalam hal ini mengambil contoh tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan biaya yang dikeluarkan untuk membayar listrik tiap bulannya dengan status kesehatan gigi dan mulut di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar. Penelitian ini menggunakan metode cluster random sampling. Sampel yang diperoleh sebanyak 362 orang dengan kisaran usia 20 tahun keatas.
Penelitian ini meliputi penilaian terhadap kebersihan gigi dan mulut serta status karies pada masyarakat Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar yang berusia lebih dari 20 tahun. Dari penelitian yang dilakukan, diketahui terdapat hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan status kesehatan gigi dan mulut. Hal ini sesuai dengan hipotesa yang telah dibahas pada bagian sebelumnya pada skripsi ini.
Tingkat sosial ekonomi masyarakat Barombong kurang lebih berpengaruh terhadap status kesehatan gigi dan mulut masyarakat itu sendiri. Adapun tingkat sosial ekonomi itu seperti tingkat pendidikan, jenis pekerjaan serta biaya yang dikeluarkan untuk membayar litrik tiap bulannya. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat maka status kesehatan gigi dan mulut lebih terjaga dibandingkan dengan masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tergolong rendah. Tetapi ada juga segelintir masyarakat yang walaupun tingkat pendidikannya tergolong rendah tetapi status kesehatan giginya bisa dikategorikan baik. Hal ini dikarenakan kebiasaan yang dilakukan sejak masih berusia muda. Jenis pekerjaan juga berpengaruh terhadap status kesehatan gigi dan mulut. Semakin tinggi pekerjaannya maka status kesehatan gigi dan mulutnya dapat dikategorikan baik. Hal ini dikarenakan pengetahuan yang lebih tentang bagaimana kiat – kiat menjaga kesehatan gigi dan mulut jika dibandingkan dengan masyarakat dengan jenis pekerjaan yang tergolong rendah.
Secara umum, keadaan status karies masyarakat kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar tergolong tinggi. Hal ini sesuai dengan survei Departemen Kesehatan RI pada tahun 2001 yang menemukan bahwa sekitar 70 % penduduk Indonesia berusia 10 tahun keatas pernah mengalami kerusakan gigi. Pada usia 12 tahun, jumlah kerusakan gigi mencapai 43.9 %, usia 15 tahun mencapai 37.4 %, usia 18 tahun sebanyak 51.1 %, usia 35 – 44 tahun mencapai 80.1 % dan usia 65 tahun ke atas mencapai 96.7 %.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan status kesehatan gigi dan mulut. Hal ini dapat kita lihat dari nilai p = 0.041 (p<0.05 berarti terdapat hubungan yang significant). Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wan Salina, Nizam dan Naing dari daerah Tumpat Malaysia. Faktor sosiodemografi telah mendapat perhatian dalam beberapa literature dalam hubungannya dengan karies. Penelitian ini menunjukkan bahwa factor sosiodemografi yaitu tingkat pendidikan berhubungan dengan status kesehatan gigi dan mulut dengan nilai p = 0.025.15
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Arab Saudi dengan judul Hubungan Aspek Sosial Ekonomi Dengan Status Kesehatan Gigi dan Mulut yang menunujukkan terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan status kesehatan gigi dan mulut msyarakat. Hasil penelitian ini dapat dijelaskan bahwa criteria aspek social ekonomi yang memegang peranan penting dalam terjadinya karies salah satunya adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kesadaran untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut. Hasil ini juga sesuai dengan pernyataan Lingstrom et al. (2000) yang mengemukakan beberapa factor penyebab karies gigi diantaranya adalah factor social ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah.16
Hasil penelitian ini juga menunjukkan terdapat hubungan antara status kesehatan gigi dan mulut dengan jenis pekerjaan masyarakat kelurahan Barombong, hal ini dapat dilihat dari nilai p = 0.00 (p<0.05 berarti terdapat hubungan yang significant). Tetapi dalam penelitian ini tidak diperoleh hubungan antara status kesehatan gigi dan mulut dengan besarnya biaya listrik yang dikeluarkan masyarakat kelurahan Barombong tiap bulannya, hal ini dapat kita lihat dari nilai p = 0.115 (p<0.05 berarti terdapat hubungan yang significant).
Ada pendapat yang mengatakan bahwa distribusi keuangan kesehatan masyarakat yang wajar merupakan suatu langkah pertama yang diperlukan untuk mengurangi faktor – factor penghalang ekonomi. Para peneliti memperkirakan hanya terdapat 0.5 % dari anggaran belanja bidang kesehatan membiayai perawatan kesehatan gigi. Meningkatnya pengganti perawatan gigi mendorong partisipasi dokter gigi swasta dalam program yang dibiayai oleh pemerintah dapat menolong mengurangi factor penghalang ekonomi dan meningkatkan pelayanan kesehatan gigi. Akan tetapi, ditemukan bahwa meningkatnya penggantian biaya itu sendiri tidak menyebabkan peningkatan yang proporsional.2

BAB VI
PENUTUP

7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan :
Terdapat hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan status kesehatan gigi dan mulut masyarakat Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar.
Tingkat pendidikan serta jenis pekerjaan mempunyai hubungan yang bermakna terhadap status kesehatan gigi dan mulut masyarakat Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar.

7.1. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar, maka ada beberapa saran yang dapat kami berikan :
Hendaknya dilakukan penelitian lanjutan dengan menambahkan variabel – variabel yang berhubungan dengan status kesehatan gigi dan mulut di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar.
Perlu perhatian khusus dari pemerintah Kelurahan Barombong berupa tindakan preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif untuk meningkatkan taraf kesehatan gigi dan mulut masyarakat Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar.

DAFTAR PUSTAKA
Bagus, I. Proposal Penelitian Faktor Sosial Ekonomi dan Demografi Terhadap Status Kesehatan dan Gizi Masyarakat (Online), www.indoskripsi.com launched at November 2007. Diakses 22 September 2008.
Oral diseases and socio-economic status (SES).British Detnal Journal.Vol 194. No 2.2003
A. James, E. David, Brumley, U. Jennifer. Community Sosioeconomic Status and Children’s Dental Health. Journal of Am. Dent. Assoc. 2001
Badan Pusat Statistik Barombong. Barombong dalam angka 2007. Available from : http://www.Barombong.go.id/baru/data/geo2007.pdf . Accessed at September, 25th 2008.
Muhariani, Indah. Januari 2008. Pencegahan dan Kesehatan Gigi Masyarakat. Laporan Akhir Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Gigi. 22th Sept 2008.
Ismawan B. Mei 2003. Kemandirian Suatu Refleksi.Jurnal Ekonomi Rakyat.(Online),Th.II – No.3 Available from : http://www.ekonomirakyat.org. Accested at 22th September 2008.
Allen D. L. Periodontitics for The Dental Hygienest. 4thed and Febinger. Philadelphia. 1987
K. Mahesh, T. Joseph, R. Varma, M. Jayanthi. Oral Health Status of 5 years and 12 years school going children in Chennai City – An Epidemiological Study. Indian Jurnal Pedo Prev Dent – March 2005. Available from : http://jisppd.com. Accested at 18th may 2009
Axelsson P, Karlstad, Sweden. Diagnosis and Risk Prediction of Dental Caries. Vol.2. Chicago:Quintessence Publishing Co, Inc, 2000:1,43,77-8
A. M. Kidd E. Dasar – dasar karies penyakit dan penanggulangannya. Penerbit Buku Kedokteran EGC
Treham Mc. Menjaga Kesehatan Mulut dan Gigi. Liberty. Yogyakarta. 1995
Baum, Philips, Lund. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi. Edisi 3.Penerbit Buku Kedokteran EGC.1994
Tarigan, Rasinta. Karies Gigi. Hipokrates. 2002.
Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar – dasar- Metodologi Penelitian Klinis.3rd. CV Sagung Seto.2008
Ali, Muhammad. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta : Pustaka Amani
Wan Salina, A. Nizam, L. Naing. The associations of birth order and sociodemographic factors with caries experience among adolescents in Tumpat. Archieves of Orofacial Sciences. 2007. 45 – 50
A. Safia, Al-Attas, BSD. MSc. FAAOM. Socioeconomis Aspec With Karies Status.Saudi Dental Jurnal. Vol.19 No.1 Jan – April 2007.